Friday, July 21, 2017

Cerita dari Thamrin: Wajah Jakarta

Hai.

Ok, jadi kemarin saya diperlihatkan (beberapa) wajah Jakarta.


Sampai di stasiun Tanah Abang, I took ojek-online ride ke kantor. Seperti biasa, humid weather ciri khas Ibukota dan suara klakson kendaraan bermotor yang saling sapa. Belum lagi teriakan segelintir orang yang napasnya hampir habis dengan emosi naik-turun. Potret di pusat Jakarta yang biasa saya temukan setiap pagi.

Saat melewati pusat perbelanjaan paling riuh di Jakarta, saya lagi sedikit melamun hingga akhirnya saya kaget dan sedikit teriak. Bapak ojeknya sampai ikut kaget juga dan menanyakan apa saya baik-baik saja. Saya sedang melihat ke arah kiri jalan waktu itu dan tepat di sebelah motor ada Ondel-ondel berpakaian hijau, sangat besar dengan suara dangdut yang mengiringi. Ondel-ondel is the most terrifying creature for me. The one that I'm always scared of. Rasanya pagi-pagi dikasih shock therapy kayak gitu bikin terbayang terus selama di kantor. Beruntung saya masih bisa fokus.

Di kantor juga lagi sering ikut deg-degan kalau mentor mengerjakan proposal pitching untuk project terbaru. The pressure is real, tbh. Walaupun gak pegang langsung dan cuma bantu bikin competitor review, tapi terasa sekali tantangannya kalau lagi handle suatu project besar. Saya senang banget karena mentor saya sangat loyal akan ilmu dan pengalaman. Saya dibimbing dengan sangat detail, bahkan mentor saya selalu sabar kalau saya nanya terus.

Pulang magang saya diajak Alca untuk nonton Filosofi Kopi 2 di Plaza Senayan (PS). Dia dapat tiket nonton gratis karena menang kuis di media sosial. Ada Eka, Leo, Gaby, dan Devin juga yang sama-sama dapat tiket nonton gratis. Namun, malah Alca yang jadinya nggak ikut nonton karena baru selesai English course pukul 18.30, sedangkan film mulai 19.15.

Saya lagi-lagi took ojek-online ride untuk ke PS. Jarak tempuh dari kantor ke sana seharusnya sekitar 20-30 menit, tapi tebak saya butuh waktu berapa lama untuk sampai ke PS? 1 jam! Macetnya benar-benar nggak bisa dibayangkan, jalanan padat sekali. Nah, selama di perjalanan ini saya diperlihatkan wajah-wajah Jakarta yang.. bikin saya sadar kalau saya harus lebih banyak bersyukur.

Ada seorang bapak yang sedang menuntun motornya yang mogok sendirian. Kerutan yang menghiasi wajahnya tampak lelah dengan debu Ibukota. Ada pula pengendara motor yang menggunakan trotoar sebagai jalur jalannya, yang satu ini menyedihkan sekaligus bikin sebal. Di arah Senayan ada enam orang tukang bangunan yang sedang makan bersama di pinggir jalan, tetapi hanya terlihat tiga nasi bungkus saja.

Di trotoar depan PS ada satu keluarga kecil, orang tua dan dua orang anak (perempuan dan laki-laki), yang duduk bersama, bercengkrama sambil makan biskuit yang sering dijumpai di warung sebagai camilan. Mungkin, hanya itulah vakansi yang bisa mereka dapatkan karena mereka terlihat begitu bahagia. Kerasnya Ibukota memang menohok bagi siapa saja yang menjumpainya. Namun, di balik itu semua, orang-orang yang bersemayam di Jakarta adalah jiwa-jiwa yang kuat.

Saya pulang larut malam karena memenuhi keinginan teman-teman saya untuk makan sate taichan. Ini bonus foto mereka, tebak mereka lagi membicarakan apa?

Wajah serius versi mereka

Wajah bahagia versi mereka

Sekian cerita saya kemarin. Sampai jumpa di cerita berikutnya! :)

No comments:

Post a Comment