Tuesday, February 25, 2020

Sunat Perempuan, Teruskan atau Hentikan?

Apakah kamu familier dengan Female Genital Mutilation (FGM) atau di Indonesia disebut sunat perempuan? Mungkin beberapa sudah tak asing dengan istilah tersebut, atau bahkan pernah mengalaminya, tetapi pasti ada juga yang bertanya-tanya, "Ngeri banget namanya, apaan tuh?"

Source: World YWCA

Jadi, FGM itu apa?

Anyways, FGM ini merupakan prosedur yang menghilangkan atau melukai sedikit, sebagian, atau penuh bagian luar organ genital perempuan dengan alasan tradisi, budaya, atau alasan non-medis lainnya. Nah, sebagian masyarakat di Indonesia pun meyakini kalau FGM ini penting untuk dilakukan terhadap perempuan, terutama untuk masyarakat yang beragama Islam.

Ya amplop, kayak gimana sih prosedurnya?

Mengutip dari World Health Organization (WHO), FGM memiliki empat tipe yaitu
Tipe 1 — Clitoridectomy: Menghilangkan sebagian atau total klitoris atau kulit luar
Tipe 2 — Excision: Menghilangkan sebagian atau total klitoris dan labia minora dengan/ tidak dengan menghilangkan labia majora, besar jaringan yang dihilangkan berbeda-beda di setiap komunitas
Tipe 3 — Infibulation: Menyempitkan lubang vagina dengan segel penutup yang dibentuk dengan memotong dan memposisikan ulang labia minora dan/ atau labia majora dengan/ tanpa pengangkatan klitoris
Tipe 4 — Prosedur berbahaya lainnya untuk tujuan non-medis seperti menusuk, mengikis, menggores, atau membakar

...dan ini dilakukan di seluruh dunia?

Menurut United Nations Population Fund (UNFPA), antara tahun 2015-2030 ada sekitar 68 juta perempuan di 25 negara di dunia yang menjalani atau akan menjalani ritual FGM, terutama negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia.  Jadi coba kamu bayangin aja, berapa banyak perempuan yang terpapar praktik FGM ini.

Terus, kalau di Indonesia gimana?

United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) di tahun 2013 pernah bilang kalau Indonesia berada di jajaran tiga besar dengan angka sunat perempuan tertinggi setelah Gambia (Afrika Barat) dan Mauritania (Afrika). Di Gorontalo dan Bangka Belitung saja praktik FGM bisa lebih dari 80%, lho! Banyak banget, kan, angkanya. Nah, tipe yang biasa dilakukan di Indonesia adalah tipe 1 dan umumnya dieksekusi oleh bidan atau dokter kandungan.

As you know it, mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam sehingga FGM dilakukan karena dianggap sebagai tradisi Islam yang penting untuk perempuan. Praktik ini merujuk pada HR Abu Daud yang masyarakat tafsirkan sebagai tujuan untuk membersihkan organ genital perempuan, meningkatkan orgasme atau memberi kenikmatan pada laki-laki saat berhubungan seksual, dan mengurangi libido perempuan.

Kok praktik ini seperti berpihak pada laki-laki, ya?

Hmm, dalam pandanganku sih, sudah bukan seperti lagi, tetapi ya memang berpihak pada laki-laki. Bahkan, sebagian komunitas agama berpendapat bahwa perempuan yang tidak disunat bukan sepenuhnya seorang Muslim karena akan tumbuh menjadi perempuan yang centil dan senang bila berada dengan banyak laki-laki. Ada pula perdebatan tentang hukum sunat perempuan, antara wajib atau sunnah, tetapi intinya menekankan pada memuliakan perempuan. Namun, berdasarkan United Nations (UN), FGM ini ditetapkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, lho.

Kenapa FGM termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia?

Well, setiap tahun di tanggal 6 Februari diperingati sebagai Hari Anti-Sunat Perempuan Internasional (International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation) yang ditetapkan oleh UN. Hal ini merujuk pada praktik FGM sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). HAM yang dilanggar dalam FGM yaitu menghilangkan hak perempuan yang bebas untuk memilih dan mengontrol apa yang ia miliki, dalam hal ini yaitu tubuhnya sendiri.

FGM di Indonesia rata-rata dilakukan pada bayi atau saat anak perempuan belum menstruasi (di bawah 12 tahun). Biasanya sih dilakukan atas keinginan orang tuanya sehingga anak tidak melakukan FGM atas kemauan atau izinnya sendiri.

Kalau sunat laki-laki gimana?

I got you! Berbeda dengan sunat laki-laki, rujukan agama untuk melakukan praktik ini jelas hukumnya, tidak ada perbedaan pendapat antara paham satu dan lainnya, pun memiliki tujuan medis yang menguntungkan yaitu membuang kulit luar yang menyelimuti ujung penis untuk higienis, mengurangi risiko infeksi urin, mengurangi risiko infeksi seksual, serta mengurangi risiko masalah kesehatan organ vital dari kanker atau penyakit lainnya.

Biasanya sunat laki-laki dilakukan mulai dari bayi yang baru lahir sampai anak-anak kurang dari 12 tahun. Namun, merujuk pada HAM, seorang anak laki-laki pun memiliki hak tubuh untuk memilih kapan ia ingin disunat, kecuali ada urgensi atau keadaan yang mendesak terkait kesehatannya sehingga ia harus disunat saat masih bayi atau bahkan baru lahir.

Again, kenapa sih kita perlu membahas FGM, terutama di Indonesia?

Karenaaaa, tak lain tak bukan, FGM sampai saat ini masih dilakukan di Indonesia. Iya, masih. Sebuah yayasan agama Islam di kota Bandung contohnya, setiap awal tahun rutin menyelenggarakan sunat massal, baik untuk laki-laki dan juga perempuan. Ada sekitar 150 anak perempuan yang mengikuti praktik FGM ini, mulai dari usia 3 bulan sampai 11 tahun.

Apa dampak yang dihasilkan bila FGM dilakukan?

FGM memiliki dampak yang signifikan terhadap fisik dan mental seorang perempuan. Dampak jangka pendeknya yaitu rasa sakit, syok/ trauma, gangguan urin, infeksi, demam, atau pendarahan, infeksi, atau bahkan hal-hal lain yang dapat menyebabkan kematian.

Dampak jangka paniangnya yaitu komplikasi saat melahirkan, anemia, keloid, rasa sakit saat berhubungan seksual, disfungsi seksual, masalah organ genital, organ genital yang terlalu sensitif, meningkatkan risiko terkena penyakit/ infeksi seksual seperti HIV. Bukan hanya pada fisik, FGM pun berdampak pada kesehatan mental seorang perempuan yaitu PTSD, gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan fisik tanpa penyebab yang jelas (psikosomatis).

Merujuk pada konsultasiku dengan dr. Leonardi Armando, Sp.KJ, trauma atau gangguan neurotransmitter yang akan berdampak pada kesehatan mental seseorang dapat terbentuk akibat dua hal yaitu nature (genes, DNA) dan nurture (pola asuh, mindset). Pada nature, trauma pada seseorang bahkan dapat terbentuk saat masih di dalam kandungan, begitu pula saat bayi, meskipun pada saat itu tidak bisa diingat dengan jelas, tetapi trauma dari FGM dapat terbentuk dan memungkinkan dampak-dampak di atas dapat terjadi.

Nah, apakah menghilangkan praktik FGM di Indonesia berarti menggerus atau menghilangkan nilai-nilai tradisi/ budaya atau agama yang sudah ada?

Melihat dari sudut pandang agama, terutama Islam di Indonesia, yang mayoritas melakukan praktik FGM karena kepercayaan atas HR Abu Daud yaitu

Dari Ummi Athiyyah  RA bahwa seorang perempuan mengkhitan para perempuan di Madinah. Nabi SAW mengatakan, “Jangan berlebihan karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan (menguntungkan) bagi perempuan (istri) dan paling disukai suami.

Dalam hadits ini, Nabi SAW menunjukkan kritik dengan pendekatan yang bertahap yaitu mereduksi tradisi tersebut, bukan menganjurkan, sehingga tidak ada dalil yang menyatakan bahwa FGM ini wajib atau sunnah untuk dilakukan. Namun, agama merupakan hal yang sangat personal dan dapat ditafsirkan sesuai dengan cara pandang dan pemahaman masing-masing individu.

Terakhir, mengapa FGM di Indonesia perlu dihilangkan?

Berdasarkan pada penjelasan, fakta, dan data di atas, tidak ada hal besar yang membut FGM ini perlu dilanjutkan dalam segi medis, terlepas dari tradisi dan agama. WHO juga telah melarang FGM sejak tahun 1994 karena dapat membahayakan organ genital perempuan, walaupun di Indonesia belum ada hukum jelas yang melarang praktik FGM.

Dengan demikian, pemerintah seharusnya dapat menetapkan hukum yang jelas terkait praktik FGM di Indonesia, serta melakukan pendekatan tradisional atau religius kepada masyarakat yang masih melakukan praktik tersebut. Kementerian Kesehatan pun masih belum tegas dalam praktik sunat perempuan di Indonesia, sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) cenderung memperbolehkan dalam artian halal untuk melakukan sunat perempuan.

Menurutku, penetapan hukum yang jelas dari pemerintah dapat dilakukan sebagai upaya untuk mengedukasi dan membuka diskusi terkait FGM, apakah memang pantas untuk dilakukan atau sudah seharusnya dihentikan.

-----------------------------------------------------

Aku ingin memperjelas posisiku di sini yaitu kontra terhadap praktik sunat perempuan, apa pun alasannya. Isu ini aku angkat sebelumnya di Instagram Story akun pribadiku, dipelajari ulang saat mengikuti workshop kepenulisan argumentatif bersama Kak Asih, dan kini aku memilih untuk mengunggahnya di blog pribadiku. Membicarakan praktik FGM bukanlah hal tabu.

Selain itu, tulisan ini merupakan buah hasil diskusiku dengan teman perempuan yang mengalami FGM maupun yang tidak, aktif secara seksual dan mengalami gangguan saat berhubungan seks maupun tidak, mengalami gangguan pada vagina maupun tidak, orang tua dan yang akan menjadi orang tua, serta yang mendukung maupun yang tidak mendukung praktik FGM.

Aku tahu pasti banyak yang berbeda paham denganku, tetapi aku sama sekali tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut, karena yang ingin aku tekankan di sini adalah sunat perempuan sebagai pelanggaran HAM. Hal itulah yang membuatku ingin memutus tradisi sunat perempuan. Namun, setiap orang pasti memiliki pertimbangan masing-masing dan kondisi yang berbeda-beda.

Mengutip dari Kak Asih, seorang dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB), di Instagram Story-nya beberapa waktu lalu,

There's no arguing religion. There's no scientific method to dispute religious thoughtsreligion at this moment cannot be rational. How can I then present an argument or even questions?

Untuk mempelajari tentang FGM lebih lanjut, silakan baca jurnal-jurnal berikut:
- Female Genital Mutilation: Health Consequences and Complications—A Short Literature Review
- The Psychological Effects of Female Genital Mutilation
- Effects of Female Genital Mutilation on Physical, Social, and Psychological Health of the Victims
- Effects of Female Genital Mutilation/ Cutting; Types I and II on Sexual Function: Case-controlled Study
- Psychosexual Consequences on Female Genital Mutilation and the Impact of Reconstructive Surgery: A Narrative Review