Thursday, October 25, 2018

Secercah Kedoya: Tentang Sekitar

Apa saja yang terjadi di sekitarmu, Gendis?

Banyak sekali dan aku menuliskannya di kepalaku. Sekarang aku ingin bagikan, sebagian kecil dari hal-hal yang aku suka dan terjadi di minggu terakhir bulan sepuluh ini.

Doa Supir Transjakarta
__ 
Memasuki gerbang tol pertama, selagi menempelkan e-money, ia tadahkan tangannya, khidmat. Melihatnya sambil berkata 'aamiin' dalam hati, tenang. Sang bapak bernama Muhamad Yufril A.

Perihal Gendis
__
Barangkali Pak Sapardi pernah memperhatikanku dari jauh, jauh sekali di semesta yang lain. Percayalah tidak pernah ada yang kebetulan, tetapi apa artinya sebuah kitab puisi bisa begitu apik dalam mengisahkan hidupku?

Anak Magang
__
Icha dan Adit, yang membantuku bertahan, pun sudah terlintas sejak dini, apa jadinya aku saat mereka sudah selesai di sini? Afif dan Azmy, yang tulus mendengarkan keluh kesah tak berkesudahan, akankah selalu ada sampai kapan-kapan?

Pelukan Ibu
__
Kejujuran mengantarkanku pada pelukan Ibu (yang selalu aku idam-idamkan). Berapa waktu yang aku butuhkan untuk mengutarakan, berkutat dengan pikiran yang tak ada habis-habisnya, ternyata hanya pelukan Ibu yang meredakan. 'Maafkan Ibu', katanya.

Wallpaper HP Supir Go-Jek
__
Hangat melihat foto seorang anak perempuan dengan kerudung pink. Apa yang ia perjuangkan di jalan, pasti untuk buah hati kesayangan. Apa yang lebih menenangkan dari kasih seorang ayah untuk anak perempuannya?

Rabu tanpa Tangis
__
Bukan mitos kalau tahun ini aku selalu menyisakan sedikit waktu untuk air mataku mengalir, setiap harinya, tanpa tanda-tanda, begitu saja. Namun, begitu bahagianya kemarin sampai aku takjub, buliran air asin itu tidak jatuh. Seterusnya, mungkinkah?

Membaca dan Menulis
__
Dan tentu saja, aku kembali membaca dan menulis, tentang apa saja. Akhirnya, penantian atas pulangnya jiwaku yang berkelana kepada akarnya tiba juga. Aksara adalah batin.

Lalu, apa yang terjadi di sekitarmu?

Sunday, October 21, 2018

Ada Apa #13 | Sirna

Tentang melupakan, dilupakan.

Saya ingat betul, sebuah kalimat yang saya tulis tahun 2003, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 2:

Masa kecil takkan kulupakan, tapi aku ingin melupakannya.
Apa yang kau inginkan? Apa kau juga ingin?
Mungkin kau bisa, tapi aku tak bisa.
Saat aku lihat teman-teman,
aku ingin seperti mereka, tapi sayang sekali aku tak bisa.
Terima kasih teman-teman.
(Sabtu, 20 September 2003)

Jujur, apa adanya, sungguh menggambarkan situasi saat itu, atau bahkan kini? Bisa jadi. Tulisan itu ada di halaman depan buku harian saya, pintu dari banyak tulisan di belakangnya yang multitafsir.

Tahun ini adalah perlawanan. Melawan ingatan, menetap atau sirna, tumbuh atau hangus. Semua memori buruk saya diputar selayaknya film, tanpa ada pilihan pause atau stop, terus berputar hilang ampun. Berawal dari cuplikan, film pendek, sampai yang durasinya panjang. Datang tanpa diminta, waktu bukanlah kawan. Jawabanku sederhana, mengapa? Oh, pertanyaan, tidak berhenti.

Meminta bantuan dan bercerita adalah tantangan, terlebih saat saya benar-benar merasa sendirian, sesederhana karena tidak mau menjadi beban. Apakah wajar merasa demikian?

Tuesday, October 2, 2018

Di Keheningan

Selamat jalan keabadian,
yang wanginya belum tercium
Walau jarak meniada bumi.

Kapan memijak tanah?
Kalau yang berpikir berhenti,
dan memusnahkan hati.

Seribu kata tak 'kan mampu,
...