Wednesday, July 26, 2017

Detox and Why

Hi!
Source: Google

I love to do a detox, basically, for everything that I really like. I know that I needed to get rid of my own addiction to things and that's why I do it. And most of the time, I nailed it. I always have a kind of strong commitment to myself, especially when it comes to principal things. I believed in every decision I made, there must be a risk that I should face. I gotta be ready.

Promises Detox

I started this detox on Ramadhan. The objective is to run my worship while Ramadhan peacefully and smoothly without any distractions from my own promises to human. This detox also applied to bukber or break-fasting together with friends. I can count that I only did bukber on Ramadhan for 6 times. It's quite an achievement for me because, in previous Ramadhan, I could make several bukber in a month, even twice, three or four times a week. Bad, eh? I know.

This promises detox is actually still on going until now on. Well, I try to. I won't make any person swallowed by my promises, in meet-up plans, in to-do-list, or in anything. I want to keep my promises. If I can't make it, then I'll say that I can't. If I'm not sure if I can make it, then I'll say I'll keep you update. I won't make 'em wait and hoping for things that ain't sure. I know the feeling of being left hanging and it's not good at all, I'm telling you. So, don't be one. #selfreminder

Social Media Detox

The most difficult detox I could ever experience. Social media are so intricately woven into the fabrics of my life, especially Instagram. I wanna unplugged myself from the Insta-Stalking, Insta-Liking, Insta-Updating, Insta-Commenting, and Insta-Everything. Thank God, I'm happier now. I don't have to worry about the drama that is going on social media, I don't have to worry about my wants after scrolling through online-shop feed, and I don't have to worry about my face on social media.

I'm still holding some social media account, for UMN TV, a freelance job as a social media handler, and internship, like Instagram, Facebook, and Twitter. That's why I can't really get off of social media, but I try to manage myself to use it professionally, not as my personal business. I realized that social media is not so essential at some point of my life, besides, this detox makes me less judgemental. I also got the chance to collect moments around me, not losing them.

The only social media that I regularly use right now is Snapchat. Why Snapchat? Because I don't have many friends in Snapchat, only two or three people that are still using it and they're all my close friends. I usually snap some videos and photos when my mom and I wanna use the cute filters Snapchat provides lol and to see the story of Buzzfeed, Food Network, and Tastemade to entertain me when I'm bored.

My goal is to take a break from Instagram for a year so wish me a good luck. It's been 3 months since I left Instagram and I can't be more proud of myself. #selflove 

Coffee Detox

This one is kinda tricky. I need coffee to energize my mood while working and as a drink to accompany my meetings. It's actually a cure for my headache as well so I took coffee as a healer. I started to drink coffee regularly when I went to college and it's getting worse day by day. It's become an addiction. 

You know, I try to consume it once or twice a month now because I ever two months not drinking it on Christmas holiday and I'm fine. At least, I'm not taking it daily. I replace coffee with mineral water. Every time I need a cup of coffee, I drink a gallon of water. Water is good. #selfconvince

Any Other Detox

And there is any other detox that I've done. Mall (window shopping) detox, sugar detox, fast food detox, you named it. The most impossible detox for me is only ice cream detox. I can't get off of ice cream for real, I don't know why the cold-sweet-super-delicious thing like ice cream is so hard to resist. Well, I just don't want to get ice cream detox actually hehe.

Detox is both healing and relieving. It just feels like something that I should do often. I don't mind to do it either. 

If you haven't done any detox, trust me you should.

What kind of detox would you like to do?

Sunday, July 23, 2017

When a Fire Ignited

Oh, hi there!

I'm becoming a melancholy poet these past days and I hated the feeling. Cry day and night so that my eyes were swollen like someone just punch me right in the eyes.

No, I didn't produce any works related to it. I just feel like, what I feel and the way I feel, is all wrong and not supposed to be like the way it is. What can I do? I never experienced such things and now I'm lost.

Wait a sec, but I enlightened with something.

I read an article from NY Times written by Miriam Johnson, let me quoted one of the hit, it's the epilog of it,

"It’s about honoring what happened. You met a person who awoke something in you. A fire ignited. The work is to be grateful. Grateful every day that someone crossed your path and left a mark on you.”

And God is the best planner we could ever ask. He managed the meetings between humans, but also the endings. Or perhaps, a see you again so that we shall wait for a while. Maybe it's time for me to be grateful, for everyone that has crossed the path and left a mark on me. That I would never forget anyone, but honoring them, one by one. For every smile and tear they have given me, I'm thankful. 

The best part of life is in every sadness that I had, there will always be something that will not let me drowning for so long. Mostly from the one up there (and of course, in my heart) and myself because who else will? As a modern-independent model walk in a forest-like runway called the city, I'm my own best friend.

We are the best healer for our own. 

Cheers,

Gendis.

Friday, July 21, 2017

Cerita dari Thamrin: Wajah Jakarta

Hai.

Ok, jadi kemarin saya diperlihatkan (beberapa) wajah Jakarta.


Sampai di stasiun Tanah Abang, I took ojek-online ride ke kantor. Seperti biasa, humid weather ciri khas Ibukota dan suara klakson kendaraan bermotor yang saling sapa. Belum lagi teriakan segelintir orang yang napasnya hampir habis dengan emosi naik-turun. Potret di pusat Jakarta yang biasa saya temukan setiap pagi.

Saat melewati pusat perbelanjaan paling riuh di Jakarta, saya lagi sedikit melamun hingga akhirnya saya kaget dan sedikit teriak. Bapak ojeknya sampai ikut kaget juga dan menanyakan apa saya baik-baik saja. Saya sedang melihat ke arah kiri jalan waktu itu dan tepat di sebelah motor ada Ondel-ondel berpakaian hijau, sangat besar dengan suara dangdut yang mengiringi. Ondel-ondel is the most terrifying creature for me. The one that I'm always scared of. Rasanya pagi-pagi dikasih shock therapy kayak gitu bikin terbayang terus selama di kantor. Beruntung saya masih bisa fokus.

Di kantor juga lagi sering ikut deg-degan kalau mentor mengerjakan proposal pitching untuk project terbaru. The pressure is real, tbh. Walaupun gak pegang langsung dan cuma bantu bikin competitor review, tapi terasa sekali tantangannya kalau lagi handle suatu project besar. Saya senang banget karena mentor saya sangat loyal akan ilmu dan pengalaman. Saya dibimbing dengan sangat detail, bahkan mentor saya selalu sabar kalau saya nanya terus.

Pulang magang saya diajak Alca untuk nonton Filosofi Kopi 2 di Plaza Senayan (PS). Dia dapat tiket nonton gratis karena menang kuis di media sosial. Ada Eka, Leo, Gaby, dan Devin juga yang sama-sama dapat tiket nonton gratis. Namun, malah Alca yang jadinya nggak ikut nonton karena baru selesai English course pukul 18.30, sedangkan film mulai 19.15.

Saya lagi-lagi took ojek-online ride untuk ke PS. Jarak tempuh dari kantor ke sana seharusnya sekitar 20-30 menit, tapi tebak saya butuh waktu berapa lama untuk sampai ke PS? 1 jam! Macetnya benar-benar nggak bisa dibayangkan, jalanan padat sekali. Nah, selama di perjalanan ini saya diperlihatkan wajah-wajah Jakarta yang.. bikin saya sadar kalau saya harus lebih banyak bersyukur.

Ada seorang bapak yang sedang menuntun motornya yang mogok sendirian. Kerutan yang menghiasi wajahnya tampak lelah dengan debu Ibukota. Ada pula pengendara motor yang menggunakan trotoar sebagai jalur jalannya, yang satu ini menyedihkan sekaligus bikin sebal. Di arah Senayan ada enam orang tukang bangunan yang sedang makan bersama di pinggir jalan, tetapi hanya terlihat tiga nasi bungkus saja.

Di trotoar depan PS ada satu keluarga kecil, orang tua dan dua orang anak (perempuan dan laki-laki), yang duduk bersama, bercengkrama sambil makan biskuit yang sering dijumpai di warung sebagai camilan. Mungkin, hanya itulah vakansi yang bisa mereka dapatkan karena mereka terlihat begitu bahagia. Kerasnya Ibukota memang menohok bagi siapa saja yang menjumpainya. Namun, di balik itu semua, orang-orang yang bersemayam di Jakarta adalah jiwa-jiwa yang kuat.

Saya pulang larut malam karena memenuhi keinginan teman-teman saya untuk makan sate taichan. Ini bonus foto mereka, tebak mereka lagi membicarakan apa?

Wajah serius versi mereka

Wajah bahagia versi mereka

Sekian cerita saya kemarin. Sampai jumpa di cerita berikutnya! :)

Tuesday, July 18, 2017

Cerita dari Thamrin: Internship, What?

Halo!

Saya memasuki minggu ketiga magang dan baru sempat mengunggah post tentang pengalaman baru yang (sejauh ini) menyenangkan.

Alhamdulillah, I've been accepted in one of the best creative digital agency di Jakarta untuk menjalani magang. Tepatnya di daerah Thamrin. Saya bolak-balik Tangerang-Jakarta sebagai pejuang KRL a.k.a kereta rel listrik atau KCJ a.k.a KAI Commuter Jabodetabek. Oh, dan juga ojek online.

Meja kerja untuk tiga bulan ke depan

Sejak saya diwawancarai untuk magang di perusahaan, saya memang amazed dengan suasana kantornya yang fun dan nyaman. Setiap sudut kantornya memang instagrammable banget kalau kata anak zaman sekarang. Namun, bukan karena itu dong yang membuat saya tertarik untuk magang di agency tersebut. Agency-nya bona fide dan menurut saya, bisa bikin saya lebih berkembang, terutama di dunia online PR dan sebagai social media specialist.

Sebenarnya saya menemukan agency ini seperti hidden treasure di Google. Kebetulan namanya disandingkan dengan beberapa digital agency dari luar, padahal agency ini adalah perusahaan lokal. Saya langsung nggak pikir banyak dan memutuskan untuk apply. Terlebih melihat client-client di website-nya yang ok banget, saya jadi semakin yakin dengan keputusan saya. Kaprodi juga mendukung dan menyetujui, jadi pas.

Sudut yang disebut Cafe, biasa digunakan kalau bosan
dengan suasana meja kerja dan saat makan siang

Di dua minggu pertama saja, saya sudah belajar banyak. Mulai dari editorial plan, competitor analysis and review, submission recap dari social media activitysocial media live report, dan diperkenalkan untuk baca data di social media analytics tools (yang ini rumitnya bukan main, padahal belum lagi belajar untuk analisisnya).


Dari tasks yang diberikan oleh social media manager-nya, yang menjadi mentor di kantor, bikin saya belajar, pekerjaan tim social media bukan hal yang mudah. Image client ya dipegang sama tim social media. Client tentu menyerahkan social media-nya ke agency untuk membentuk citra yang baik di publik, yang mencerminkan nilai-nilainya. Saya jadi kesal sendiri kalau ingat beberapa teman sering kali menyepelekan pekerjaan yang sering saya pegang kalau mengadakan event atau di komunitas kampus. Well, you can always judge a book by its cover, but don't ever act like you understand the book completely.


Sudut kesukaan untuk makan bekal (hemat),
ditemani Kaonashi dan daun gugur di luar jendela

Jujur, saya memang agak "kaget" ketika harus memegang client seperti brand susu kehamilan atau biskuit balita. Bagaimana tidak, saya belum pernah punya anak atau bahkan menikah dan ditugaskan untuk membuat konten yang berkaitan dengan kehamilan, menyusui, MPASI (Makanan Pendamping ASI), milestone anak, parenting, dan hal-hal yang keibuan lainnya. 


Bukan Gendis namanya kalau menyerah, justru jadi tantangan tersendiri untuk saya. Walaupun feel-nya belum dapat banget, saya tetap berusaha supaya bisa menyamakan kualitas konten yang dibuat oleh kakak-kakak tim social media. Kalau buka history saya di Safari, pasti isinya hasil research saya tentang kehamilan dan kawan-kawannya. Ya, hitung-hitung menabung pengetahuan untuk masa mendatang haha.


Namun, yang paling menyebalkan adalah saat pegang brand teknologi. Gendis yang gaptek ini? Gaming? Tech-HackSusahnya minta ampun, bikin satu editorial plan saja bisa seharian. Putar otak, ngantuk, sampai diketawain sama mentor haha.

Serunya, saya diarahkan untuk mencoba setiap client yang dipegang oleh tim social media sehingga pengetahuan saya semakin luas. Kebutuhan client yang berbeda-beda menuntut tim social media untuk luwes dan haus akan research. Mulai dari detail tanda baca sampai teks media, semua hal diperhatikan. Belum lagi dengan revisi yang berdatangan tiada henti. Pekerjaan tim social media memang under pressure.


Saya suka suasana kerjanya yang santai, tetapi produktif. Kakak-kakak yang ada di kantor, baik di tim social media dan tim lain, selalu ramah dan berbaik hati membimbing saya yang masih anak bawang ini. Saya seperti biasa, masih malu-malu kucing. Baru awal, masih ada hari-hari berikutnya kok.


Di weekend, saya dikasih kesempatan untuk mencoba social media live report di Galeri Indonesia Kaya yang terletak di Grand Indonesia. Kalau ini sih memang sudah jadi makanan saya sehari-hari saat menjadi social media handler di UMN TV, jadi aman dan menyenangkan.


Magical Music
by Cascade Trio and Robert Stevan (Mind Illusionist)


My company saat social media live report

Di tugas pertama itu, saya ditemani oleh Icha. Sengaja saya ajak Icha supaya nggak kerja sendirian, apalagi akhir pekan. Selain kerja, kami juga menyempatkan window shopping sebentar. Setelah menemani saya, kami pun makan malam di Eatlah, Plaza Indonesia. Mau mencoba the famous salted egg chicken rice, ternyata enak sih, tapi ya nggak enak banget haha. Kami juga berkunjung ke art installation-nya Abenk Alter.


Cerita dari Thamrin ini akan jadi serial magang saya. Doakan saja supaya selalu ada niat dan nggak malas untuk menulis ya. Nggak cuma pengalaman magang saja, tetapi cerita kecil saat di kereta atau di ojek menuju kantor sepertinya akan menghiasi juga.


Sampai ketemu di Cerita dari Thamrin selanjutnya!

Sunday, July 16, 2017

Sarapan Bersama Ibu: Roti Nogat (Roti Tiam)

Hai!

Sudah dua minggu saya magang dan Ibu menagih hari Sabtunya yang hilang.

Ya, memang setiap Sabtu pagi, biasanya saya dan Ibu pergi sarapan di luar, entah mencoba tempat baru atau ke tempat yang memang sudah menjadi langganan. Rutinitas Ibu memasak setiap weekdays (karena memang pekerjaannya) bikin Ibu (dan saya sendiri) bosan untuk sarapan di rumah. Pergi sarapan ke luar jadi vakansi tersendiri, sekaligus quality time versi kami (walaupun setiap saat bersama Ibu selalu berkualitas, sih).

Kemarin kami sarapan di kedai roti yang paling ngangenin dan selalu sukses bikin ingin balik lagi. Nama kedainya Roti Nogat. Mungkin orang-orang akan lebih mengenalnya dengan Roti Tiam, memang baru-baru saja kedai roti kesayangan kami berganti nama.

Ibu dan Roti Meijses-nya

Roti Nogat terletak di Pasar Modern BSD. Kedainya kecil, tetapi nyaman. Saya dan Ibu selalu pilih makan di atas karena ada pendingin ruangannya dan suasananya homey. Menu yang ditawarkan ya nggak jauh-jauh dari roti panggang dan menu sarapan lainnya. Roti Nogat juga menyediakan minuman ciamik yang siap bikin bahagia di pagi hari.

Saya pertama kali berkunjung ke Roti Nogat karena Instagram. Memang sudah sering untuk pergi sarapan ke Pasar Modern BSD, biasanya untuk ngopi dan makan pao keju di ROSSO' Micro Roastery atau beli camilan di Pastellia. Eh, ternyata hasilnya tidak mengecewakan, malah selalu menyenangkan. 

Roti Nogat


Ini selalu jadi menu pilihan saya kalau berkunjung ke Roti Nogat. Ya, sesuai sama branding barunya, roti nogat memang jadi bintang di kedai ini. Roti yang dipakai adalah roti gandum homemade yang lembut dan nggak seret. Dioles buttercream moka (perpaduan butter, cokelat, kopi Flores Bajawa) dan taburan nogat (caramelized fine-grind peanut) yang melimpah memang juara banget buat saya. Cukup pesan yang 1/4 saja dan rasanya bakal awet sampai siang.

Roti Meijses


Kalau ini selalu jadi andalan Ibu. Ibu memang penyuka cokelat dari dulu hingga kini, nggak pernah berubah. Ibu bahkan bisa habis 1 roti sendirian, saking sukanya. Masih dioles dengan buttercream moka dengan taburan meijses melimpah, bikin Ibu makin senang deh.

Roti Celup Keju


Ini semacam side dish kami kalau ke Roti Nogat. Sebenarnya bisa bikin saus keju sendiri di rumah, tetapi makan di kedai ini jadi terasa beda saja sih. Mungkin karena suasananya yang mendukung. Selain roti celup keju, biasanya pilihan lain jatuh ke jagung gurih. Nggak kalah enak, jagungnya manis dibalut sama bumbu racikan sendiri.

Kopi Moka


Kombinasi kopi dan cokelatnya pas, manisnya pas, semuanya pas. Paling senang kalau menyeruput saat masih panas, pasti saya jadi kumisan karena kena cokelatnya hehe.

Es Pokat


Ini kesukaan saya dan Ibu. Nggak bisa diganggu gugat, enak banget. Es alpukat pakai cokelat, meijses, dan es krim rasa kopi. Bayangin saja sendiri ya. Rasanya berdosa sih minum ini, but we just can't resist! It is heavenly good.

Es Kopi Susu (Level 3)

Iya, jempol saya terlalu menggemaskan

My favorite of all time. Setiap ke Roti Nogat, minuman yang nggak pernah absen ya ini. Nggak kalah enak sama es kopi susu tetangganya Tuku. Entah minum di tempat atau bawa pulang, pasti selalu beli. Es kopi susu ini ada tiga level. Semakin tinggi tingkatannya, semakin intense kopinya. Dan karena saya suka tantangan, saya pesan level 3 dong haha padahal tetap pakai susu.

The legendary buttercream moka dan nogat

Sebenarnya masih ada menu lain yang bisa dicoba, seperti nasi perang (semacam nasi kucing), panekuk pisang, roti srikaya, roti telur kornet, limun nipis, teh sereh, dan lainnya. Pasti puas sih, apapun menunya. Rasa dari setiap menu di Roti Nogat memang enak, tetapi ya nggak enak banget. Namun, semuanya begitu sederhana dan memikat hati. Mungkin itu ya yang bikin spesial. Perasaan saya saat makan di kedai ini tuh seperti dilempar balik ke zaman dulu, ditambah dengan hiruk-pikuk pasar yang selalu saya suka.

Roti panggang dan telur kornet

Oh ya, salah satu yang bikin kami selalu balik lagi ke Roti Nogat adalah karyawan-karyawannya yang ramah, selalu menebar senyum. Bahkan salah satu kasirnya, Mbak Dilla, bisa mengingat nama saya dengan baik, senang deh. Kalau kata saya sebagai anak PR, CRM atau customer relationship management-nya Roti Nogat keren! Salut.

Sarapan kemarin menyenangkan sekali. Rasanya semua capek karena bolak-balik Jakarta-Tangerang setiap hari jadi hilang karena bisa nge-date sama Ibu lagi, setelah dua minggu absen. Saya dan Ibu memang lebih suka menghabiskan waktu untuk jelajah kuliner, apalagi di pagi hari. Udara pagi memang punya energi magis yang bisa bikin mood naik ke level yang semakin tinggi ya. Bangun pagi and the rest of your day would be fine.

Sarapan bersama Ibu sepertinya akan menjadi serial di blog saya. Namun, nggak janji ya kalau akan rajin mengunggah post-nya. Siapa tahu selera kita sama dan bisa jadi referensi kamu untuk sarapan di akhir pekan.

Apa sarapan kesukaanmu?

Thursday, July 13, 2017

A Soothing Gaze

I just downed the road in a motorbike ride, somewhere along Kebon Kacang Street earlier this morning and I saw an old man with a little boy on his back.

He walked as he cradling his, I assumed, grandson. Slowly, but sure. His facial expression was none like he got tired or something, he looked... persistent. And the little boy on his back was an innocent one, hugging the old man tightly.

The old man and the little boy just caught up my attention. Their affection that burst up brings out positive energy to me. It's kinda weird, but I feel loved. The grandfather's eyes showed warmth and there's nothing that I like better than a soothing gaze. It was very soothing just to look at them.

What kind of soothing thing do you like?