Friday, November 30, 2018

Journey to the Light

I think this is it. I don't understand why everything's so confusing, though that's just the way it is.

It's an endless ride;
Humble myself. Ask His guidance. Ask His protection.

I try to understand, I go out, I walk on earth, I see the world.

To see things in different perspective;
May I experience the light upon light, until Allah pulls me out from the darkness.

Sunday, November 25, 2018

Jatuh Cinta

Malam itu, di suatu distrik bisnis ibu kota, melebur dengan semesta.

:Permulaan

Kaki yang belang akibat suka pakai sepatu terbuka itu dilangkahkan oleh seorang dara di pusat perbelanjaan kawasan Sudirman, satu per satu menuruni anak tangga curam menuju halte bus. Bukan untuk bus, melainkan ojek daring.

Dalam balutan jaket biru gelap bermotif pohon, kelinci, dan bunga: hal-hal yang disukainya, perempuan berkerudung merah muda itu diketahui sedang sendiri, tetapi tidak kesepian. Ponselnya menyala, menampakkan surel yang ia terima tepat kemarin, berisikan tempat rahasia diadakannya sebuah pertunjukan musik.

Ojeknya datang.

:Perjalanan

Sebetulnya hanya terpisahkan jarak 4 km, tetapi terasa lebih jauh karena rekayasa lalu lintas yang berlaku. Jalanan sepi kendaraan bermotor, padahal itu malam Minggu, hanya ramai daun-daun jatuh dan beberapa pikiran yang berjalan di trotoar.

Ia menyusuri kawasan Senayan, lalu Senopati, mesra berdua dengan seorang bapak baik hati yang tahu jalan, sampai akhirnya tiba di distrik bisnis ibu kota yang berputar, memusingkan.

:Pengalaman

Kembali sang dara bersua dengan halte bus di depan sebuah gedung yang memancarkan sejuta warna ke segala penjuru, berseri dan memikat pandang siapa saja yang mendapat anugerah penglihatan karena kilaunya. Kaki belang itu pun menjejaki jalan dengan kanan-kiri pencakar langit sebagai pemandangan, menyeberangi garis hitam putih.


Ia tiba di tujuannya, pertunjukan musik sebagai kencan dengan dirinya sendiri yang sudah lama terabaikan. Perempuan itu memang sering lupa untuk jatuh cinta dengan siapa yang berada di dalam jiwanya, membahagiakan orang lain menjadi lebih nikmat 'tuk dilakukan. Keinginan untuk memeluk setiap relung yang ia sebut sebagai aku menguat erat.


Yura Yunita, Dhira Bongs, Bilal Indrajaya, dan Bedjana. Keempatnya membuat ia terpukau, musik yang disajikan mereka semua membuat telinga siapa pun jatuh cinta. Belum lagi suasana hangat dengan latar gemerlap ibu kota dari ketinggian lantai 25, begitu memanjakan mata, hati, dan pikiran manusia yang berada di sana.

Setelah acara selesai, ia menyapa seorang perempuan berkerudung krem, mengenakan baju hangat berwarna jingga dan celana jin, serta sepatu Vans Checkerboard yang tidak tampak baru.


"Keren banget nggak, sih?"

Itu kata-kata yang terlontar pertama kali dari mulut sang dara. Tadinya ia hampir mengarahkan kalimat itu kepada laki-laki di samping kirinya, tetapi ia terlalu malu untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Tak lama, perempuan tadilah yang datang dan duduk di sebelah kanan, namanya Kenni. Kenni menyambut ramah dan terjadilah percakapan menyenangkan antara keduanya.

Sama-sama sedang deactivate media sosial, sering bepergian sendiri, dan menikmati musik malam itu. Keduanya tertawa karena menemukan begitu banyak kesamaan, bercerita lebih banyak lagi tentang diri masing-masing, dan menatap setiap orang yang masih tersisa di dalam ruangan. Sampai akhirnya memutuskan untuk turun karena sudah larut dan waktu menunjukkan untuk pulang.


Ia dan Kenni tidak bertukar nomor telepon atau surel. Sesederhana karena keduanya yakin, bila memang harus dipertemukan kembali, Tuhan yang akan beri jalan untuk bertemu. Berjabat dan melambaikan tangan, Kenni berjalan menuju parkiran dan sang dara berjalan menuju halte tempat ia pertama kali datang.

:Pencerahan

Semilir angin malam tidak terasa menakutkan, tetapi bersahabat dan mengajaknya berpelukan. Ia genggam erat setiap cinta yang ia rasakan. Malam itu, ia merasa penuh dan menyatu tulus dengan bumi. Berjalan sendirian pukul setengah dua belas malam tidak terasa menyeramkan, tetapi melegakan. Ia menikmati dirinya sendiri seutuhnya. Meneteskan beberapa bulir air dari matanya, lalu tersenyum dan tertawa bersama lampu-lampu jalanan.

Doa-doa yang selalu ia panjatkan, entah berapa ribu waktu dan purnama sudah dihabiskan, terbayar malam itu. Ada perasaan plonggg dan membuatnya ingin berkata, "Aaahhhhh". Pelan-pelan, tetapi pasti, ternyata kita adalah apa yang kita percayai. Pemilik semesta dan segala isinya selalu mempunyai cara yang tidak disangka-sangka dan memang sebaik-baiknya tempat berharap.

Sambil menunggu taksi yang agak lama datang, ia menyapa semua makhluk yang ditemuinya, terlihat atau tidak, ia merasa menjadi teman untuk siapa saja. Terlebih, ia akhirnya bisa menjadi teman untuk dirinya sendiri. Segala beban yang ia pikul masih terasa di dada, tetapi malam itu, rasanya ia bisa menaklukkan apa saja. Teringat perkataan seseorang yang pernah ditemuinya di Instagram,

"Kehilangan adalah ilusi karena kita tidak pernah benar-benar memiliki, kita tidak punya apa-apa selain diri kita sendiri."

Siapa yang ia sebut sebagai aku adalah tanggung jawabnya sendiri. Damai didefinisikan dengan memaafkan diri sendiri sepenuhnya. Mengenali, merasakan, mengakui, dan mengizinkan apapun yang ia rasakan, lakukan. Ia sadar, diri sendiri adalah penolong dan penyembuh paling manjur, terutama dengan bantuan dahsyat dari Sang Mahasegalanya.

:Kepulangan

Seorang bapak pengemudi taksi terlihat tua, tetapi tenaganya masih bisa membuat ia menjadi seorang pembalap. Entah, si dara muda merasa ia siap menjemput keabadian saat berada di kursi belakang mobil. Namun, memang bukan saatnya. Mungkin nanti, masih lama atau sebentar lagi. Ia hanya tahu untuk mendengar kisah sang bapak yang harus merelakan waktu dengan keluarganya di Sukabumi terbuang demi pilu pekerjaan di Jakarta.

Dan...

Perihal pulang adalah Ibu. Tujuan dari destinasinya saat ini adalah Ibu. Alasan dari pekerjaan yang tak pernah ia sukai adalah Ibu. Semua hal yang ia lakukan, mencoba memaafkan laki-laki yang sampai kini belum bisa ia jadikan panutan, masakan yang ia sentuh dengan sayang, adalah Ibu. Dulu, kini, nanti, selamanya adalah Ibu.

Ibu telah menjadi caregiver yang paling setia dan selalu mau belajar, terhadap kebimbangan, kebahagiaan, dan segala yang terjadi selama satu tahun penuh perjuangan. Ia bersyukur atas setiap tetes keringat dan air mata yang jatuh setiap malam, cekik penuh ketiba-tibaan dan pukulan dinding selemah pengecut, panas setrika membakar permukaan kulit, setiap sakit dan pahit. Ibu yang membuatnya jatuh cinta lagi pada dirinya sendiri.

Wednesday, November 21, 2018

Ada Apa #14 | Wisuda

Wisuda,
perayaan atau perpisahan?

"W sedi u gag ikut wisuda...:(
W bilang ae geninkkk.
U kan padahal harusnya duduk samping w tau nink kan sesuai nim HIKS."

Terlepas dari cara penulisannya yang alay, pesan yang masuk di WhatsApp saya kemarin malam bikin termenung. Datang dari seorang teman yang jadi saksi tentang seorang yang saya anggap aku, selama perkuliahan kurang lebih empat tahun, di suatu kampus yang gedungnya seperti telur dinosaurus.

Setiap ada percakapan mengenai wisuda, saya selalu bilang bahwa saya enggak akan ikut wisuda. Banyak hal yang jadi pertimbangan dan saya yakin saya enggak bakal kenapa-kenapa juga kalau enggak ikut, jadi enggak ada salahnya untuk tidak menjadi bagian dari perhelatan yang selalu ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa itu. Paling penting adalah saya lulus yudisium, itu kan yang diperlukan untuk keluarnya ijazah?

Saya enggak ingin wisuda, selayaknya saya enggak ingin resepsi. Menurut saya, keduanya hanyalah perayaan. Inti yang harus saya selam adalah yudisium dan akad, itu saja. Makanya, saya pikir saya akan baik-baik saja. Terlebih, pasti akan sulit untuk datang ke wisuda bila harus ada yang dikorbankan, hati yang patah, masalah yang belum selesai, saya enggak siap untuk menghadapinya. Namun, lagi-lagi, saya lupa untuk memulai percakapan dengan diri saya sendiri.

Hari ini saya memikirkan terus, apakah saya enggak sedih? Nanti saya enggak akan ada di dalam ruangan, enggak akan ada di foto angkatan, enggak akan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa teman-teman seperjuangan sudah bisa membanggakan orang-orang tersayang dan diri mereka sendiri, di dalam ruangan perayaan, atau perpisahan, yang disebut wisuda. Ini momen yang memang seharusnya dirayakan, kata beberapa teman.

Kurang dari dua minggu, wisuda akan tiba. Saya bahkan masih belum yakin, apakah datang ke sana adalah keputusan yang tepat? Suatu keberanian atau malah pemicu rendah diri? Bukan karena saya enggak wisuda, tapi karena kalau saya ikut wisuda pun, saya enggak bisa seperti orang-orang biasanya, datang penuh senyum dan bergandeng tangan dengan kesayangan.

Ternyata saya sedih dan saya bingung sendiri, kenapa harus mengakui di detik-detik terakhir? Saya merasa enggak enak banget sama orang tua, terutama Ibu, yang saya tahu selalu ada dari dulu, kini, sampai nanti. Ibu cukup sering membahas hal ini, saya tahu ia sangat ingin melihat anaknya wisuda. Pakai baju bagus, berfoto, melihat anaknya maju ke atas panggung dan bersalaman dengan rektor, menyaksi senyum atau tangis karena bahagia. Sampai terlontar bahwa ia ikhlas atas apapun keputusan yang saya ambil, wisuda atau tidak, bukan masalah asalkan itu yang saya yakin terbaik.

Sekarang kerongkongan saya tercekat, apakah saya terlalu memikirkan diri sendiri? Ini egois atau bentuk self-love yang sedang ramai disampaikan orang? Semoga keputusan ini matang karena proses memasaknya yang membutuhkan waktu lama. Saya juga enggak bisa membayangkan kalau saya memilih untuk wisuda, datang sendirian, entah serapah apa yang akan saya terima dari orang-orang yang saya buat patah hati.

Yang saya tahu, daripada harus membuat lebih banyak orang patah hatinya, biar saya sendiri saja yang merasakannya.

Sunday, November 11, 2018

Secercah Kedoya: Liputan Pertama

Halo! Been thinking about writing this experience on the blog or not, tapi sekarang saya yakin kalau ini harus diabadikan, demi diri saya sendiri, untuk kenang-kenangan di masa mendatang.


Euphoria at the Electric Jakarta Marathon 2018

Bagaimana fotonya? Cukup bagus, ya? Hahaha, gapapa dong sesekali memuji diri sendiri, saya senang melihat diri ini bisa berjuang melawan sisi-sisi jahat yang kadang suka muncul dan menghambat keinginan untuk maju.

Hari itu, Jumat terakhir di bulan sepuluh, supervisor saya mengabarkan kalau di hari Minggu saya akan turun lapangan untuk liputan pertama. Senang, tapi deg-deg serrr juga, sih. Ini sudah saya tunggu-tunggu sejak awal, tapi liputan foto? Saya nggak pernah bagus dalam fotografi dan videografi, sesederhana karena saya tremor HAHA. Apa-apa yang diambil pasti goyang dan hasilnya blur, kecuali dengan stabilizer atau auto mode tentunya.


"Hah, liputan, Kak? Kita? Berdua?"

Luckily, saya ditemani sama anak magang, Icha. Teman jajan selama di kantor, yang selalu bikin ketawa, dan bikin mupeng kalo lihat doi lagi makan (and I'll definitely miss her when she's not here anymore). Tentu saja, saya juga dapat pengarahan fotografi singkat dari Adit, teman semester satu saya di kampus (yang sampai sekarang masih harus berjuang, kelarin cepet, Dit!), juga orang yang sebenarnya enggak jelas, tapi baik banget deh hatinya. Mas Ibnu, Account Executive (AE) yang mengurus work order untuk Electric Jakarta Marathon 2018, acara yang diliput, pun sangat kooperatif dan membimbing saya yang kadang-kadang suka error ini hehehe.


"Pokoknya lu pake auto atau sport mode terus ya, Ndis"

Until the day came, saya harus bangun pukul 01.00. Ya, sedini itu, karena untuk pergi keluar saya butuh waktu setidaknya 1-2 jam persiapan, juga harus sampai di venue pukul 03.00. Oh well, demi itu pun saya makan Indomie goreng + telur ceplok + nasi HAHA enggak ada makanan lagi di rumah, tapi atas nama stamina saya lakukan karena pas liputan pasti enggak akan sempat makan atau mikirin perut.

Akhirnya ketemuan sama Icha di McDonald's Jalan Panjang dan langsung meluncur ke Gelora Bung Karno (GBK) diantar oleh pacarnya (thank you, Dimas!). Pikiran saat itu, "Gila! Pagi-pagi buta gini rasanya kayak kilas balik ke waktu syuting Enjoy Your Weekend ke Ancol pas di UMN TV dulu." Beneran deh, bikin ketawa dan kangen banget sama UMN TV. Gimana enggak? Hampir 3/4 kehidupan kampus saya habiskan bareng komunitas media kampus itu, tumbuh-kembang saya sebagai individu sedikit-banyak karena UMN TV juga.


Sebuah potret bahagia dari keluarga kecil
yang mengikuti kategori 5K

Pas awal datang, kami masih nempelin Mas Reno, salah satu Production Assistant (PA) di bagian TV, sedangkan kami kan tim media sosial di bagian media daring. Orangnya baik banget sih, walaupun enggak banyak bicara, sungguh membantu kami saat di lapangan. Lalu, ketemu juga sama Mas Arif, salah satu pengurus media di acara yang sedang kami liput. Mas Arif cekatan juga kalau ditanya ini-itu, bikin senang karena kami jadi enggak clueless.


One of the potential winners for the Full Marathon

Kurang-lebih kami berada di GBK selama 8 jam, kami sudah bisa pulang pukul 11.00-an karena fotonya sudah dapat semua dan yang penting kliennya senang sama hasilnya. It was a very memorable moment for me and I'm craving for more. Dari liputan itu saya belajar, jangan malu-malu untuk sok kenal sok deket alias SKSD ke orang daripada nyesel belakangan.

Oh, saingan pas liputan untuk manusia mini seperti saya ternyata bukan sesama manusia, tapi tripod pemirsa. Ya, benda mati itu :) Saya bangga sih karena saya berani manjat pagar besi demi mendapat foto yang bagus atau loncat-loncat sampai ada seorang wartawan laki-laki yang bilang, "Ini pake spot saya aja di depan sini, biar enggak usah loncat segala." I'm forever thankful for you, duhai Mas yang tidak diketahui namanya hahaha.


With the one and only, Icha <3

Bonus selfie berdua sama Icha yang sudah back-up foto pakai iPhone dengan sangat baik. Oh, she was also very patient with my temper selama liputan berlangsung. She's truly an angel, deh. I'm so proud of her.

Enough for now, will be back blogging later!

Thursday, November 8, 2018

Aku Ada

Kemarin tiba-tiba aku menerima chat kalau akan dijemput dan ditraktir makan malam. Entah mengapa, cara Tuhan itu selalu tidak terpikirkan dan ada-ada saja. Aku merasa ada. Walaupun aku nggak bisa jujur ke banyak orang dan cenderung memendam perasaan, tapi sedikit tertawa dengan teman-teman nggak ada salahnya, kan?


Fish Streat, 7 November 2018

Aku bertemu Alca, Devin, dan Gaby untuk mensyukuri ketiganya yang masih diberi udara 'tuk dihirup sampai usia saat ini. Di minggu sebelumnya aku makan bakmi sama Angel, lalu main ke pasar dan nonton sama Icha. Oh, dan papasan dengan Raisa saat naik Go-Jek dan di salah satu pusat perbelanjaan. Sebelumnya lagi aku jalan-jalan ke empat museum di Kota Tua sambil minum jamu sama Farhah. Tepat seminggu sebelum bertemu Farhah, aku kencan di perpustakaan dan Pasar Santa sama Rana sampai bukan hanya perut yang penuh, tapi jiwaku juga. Oh, dan sebotol madu dari Kak Melanie kesayangan dan obrolan sedalam lautan dengan yang sedang jatuh sepertiku (tapi akan segera bangkit secepatnya), Kak Nissy seorang.

Namun, minggu ini aku rehat karena kondisi tubuh yang nggak sehat, tapi aku antusias, siapa lagi minggu depan? Ke mana? Ada cerita apa?

Aku nggak melulu sekubu dengan teman-temanku, tapi selalu ada percikan hangat di tengah dinginnya hidupku bila sedang bersama mereka. Setidaknya, saat aku sedang menjadi aku yang terburuk sekalipun, teman-temanku tetap ada. Mungkin aku masih memikirkan mereka-mereka yang terkesan meninggalkan, tapi aku coba menikmati yang ada sekarang. Bukan hanya mereka bertiga dalam foto, tapi untuk semuanya, yang setia bertahan walau saat berjumpa kita sudah tak sempat mengabadikan momen dalam sebuah foto.

Terima kasih ya, aku bahagia punya kalian, aku ingin fokus pada hal-hal yang aku punya, seperti kalian, dan aku akan terus belajar untuk bersyukur sepenuhnya.