Wednesday, February 27, 2019

Secercah Kedoya: (Bukan) Bercanda, Neng!

Hari itu tanggal 26 Februari 2019, hari Selasa. Naik Grab-Bike karena punya saldo OVO dan demi promo, tapi saya setia sama Go-Jek sebenarnya, dan mendapat driver dengan inisial R. Dari awal saya naik ke motornya, ia bilang, “Kita lewat sana aja ya, biar muter dulu, lebih lama deh kita di jalan.”

Dalam hati, “ASDFGHJKL!!!!”, yang terlontar, “Ya kali, Pak!” dan dibalas lagi, “Gapapa dong, kan enak kalau lama-lama.” Oh, rasanya saya ingin berkata kasar. Belum lagi ia memundurkan posisi duduknya sehingga lebih mepet dengan badan saya. Untung cepat sadar, saya langsung kasih batas dengan tas dan mendorong sedikit.

Dalam perjalanan yang sangat sebentar itu (terima kasih Tuhan, kantor saya dekat), ia bercerita tentang pekerjaannya yang termakan janji palsu poin-poin dari perusahaan, serta penumpang yang sering memberikan komentar setelah perjalanan selesai. Untuk masalah komentar, no wonder, saya rasanya juga ingin begitu, tapi saya tahan saja atas nama empati, saya masih manusia.

Ketahuilah bahwa kaki saya masih belum bisa berjalan normal sehingga saat saya turun dari motor, saya berjalan dengan pincang, terlebih hari itu saya memilih meninggalkan tongkat di rumah. Keluarlah kata-kata yang sepertinya menggambarkan sang driver dengan lebih baik lagi, “Oalah, pincang!” Nada bicaranya, sungguh, bikin saya jengkel ingin jitak, tapi yang kencang gitu.

Mengapa ya, ada saja orang-orang seperti ini? Mungkin ada yang bilang biasa saja atau, “Ah, itu kan bercanda!” Menurut saya, bercanda yang seperti itu sudah ketinggalan zaman.

Monday, February 25, 2019

Ada Apa #16 | Rendah Hati

"Jangan ragu-ragu
Cantik, kau tahu
Hidup bukan tentang angka"

Lagu itu dirilis di awal tahun lalu, tetapi baris tersebut terngiang-ngiang kembali di kepala saya beberapa waktu belakangan ini.

Saya terbiasa sendiri dari kecil dan entah mengapa, saya rasa kesendirian membentuk pribadi sosok aku di dalam diri menjadi manusia yang kompetitif. Namun, apakah benar hidup ini adalah kompetisi? Kalau iya, dengan siapa? Kalau tidak, mengapa terasa melelahkan seperti maraton yang tak berujung?

Angka telah menjadi parameter yang hampir selalu menghantui saya seumur hidup, tetapi... jemu juga dengan angka. Tuntutan dari orang tua, orang-orang nyinyir, atau sesederhana diri saya yang kompetitif itu. Peringkat kelas, indeks prestasi, gaji, berat badan, tinggi badan; berapa? Lalu dari jawaban yang ada, apakah itu yang benar-benar saya cari? Rasio, sepenting itu, kah?

Pemikiran, "Aku belum cukup, belum seperti mereka." sering sekali mampir di kepala. Pun dengan membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain, apa yang belum dimiliki, atau sesederhana mengapa harus saya yang rasakan hidup seperti ini. Pasti orang kebanyakan akan bilang, "Ah, kamu kurang bersyukur!". Sungguh, bukan itu. Pertanyaan-pertanyaan itu bagai lautan yang tak habis oleh waktu, terus mengalir dan menggenang.

Namun, dua minggu lalu saya seperti "ditampar" sama Bos Besar, "Di atas langit masih ada langit.", begitu katanya.

Saya jatuh di toilet suatu pusat perbelanjaan di Jakarta ketika sedang singgah dengan dua orang teman. Tidak ada tanda-tanda apapun, lantai licin yang bisa menyebabkan terpeleset, atau tiang yang tidak terlihat. Tiba-tiba saja saya terjatuh, lutut kiri saya berbunyi "krek-krek" dan rasanya sakit sekali.

Di hari itu, dan selama dua minggu proses pemulihan, saya memang benar-benar merasa jatuh. Lutut ini vital dan saya baru sadar. Saya butuh kaki untuk ke mana-mana, tapi pernahkah saya berterima kasih pada anggota tubuh ini? Yang telah dengan sabar, tulus, menemani apapun aktivitas saya.

Belum lagi, musibah berarti biaya tak terduga. Pengeluaran bocor, bahkan tabungan pun ikut terkuras habis. Saat diingatkan bahwa saya tidak pernah benar-benar memiliki, saat itulah saya tahu bahwa hidup ini bukanlah kompetisi. Misalnya pun iya, saya seharusnya berkompetisi dengan diri saya yang sebelumnya. Saya rasa bukan hanya bahagia yang bisa menjadi energi, kesedihan juga bisa, menjadi energi untuk kembali bangkit dan berjuang lagi.

Saya merasa enggak enak juga karena banyak merepotkan orang, kolega di kantor, dan terlebih ibu. Apa-apa minta bantuan, tidak bisa bergerak secepat biasanya, menghambat pekerjaan. Awalnya memang sedih, kenapa saya harus membuat susah orang lain, tapi mungkin, Tuhan sedang melatih saya untuk menjadi lebih rendah hati. Bahwa walau saya tidak mempunyai apa-apa dan sesungguhnya sendirian, saya tetap hidup bersama orang lain dan meminta bantuan pada mereka bukanlah hal yang aneh.

Kalau kata seorang dosen yang dekat dengan saya, "Jabatan, uang bisa dicari, tapi jiwa yang terluka sulit untuk dikembalikan." Biarlah hilang yang diharuskan hilang, lepaslah lepas, semua yang hanya mampir itu silih berganti, tapi jangan sampai apa yang selalu tertanam di dalam diri dibiarkan mati.

Terburu-buru atau pelan-pelan, sekarang atau nanti, semoga saya bisa selalu sadar dan menikmati hidup ini. Tanpa dibuat-buat, apa adanya, dengan hati yang membumi.

Sunday, February 3, 2019

Ada Apa #15 | Menjadi Teman yang Suportif

Halo, apa kabar?

Aku berharap kita semua bisa menuju kedamaian dengan langkah kita masing-masing, ya.


Di awal bulan Desember tahun lalu, aku mengikuti half day workshop dengan tema "The Do's and Dont's to be Supportive" bersama dr. Gina Anindyajati, SpKJ a.k.a Kak Gina. Workshop ini diadakan oleh Primepoint.ID, sebuah media yang meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Primepoint.ID diusung oleh Farah Mauludynna a.k.a Kak Dynna, aku mengenalnya di Instagram karena tagar #SebentarTapiPenting, seseorang yang turut membantuku di masa kelam tahun lalu.

Aku tergerak untuk mengikuti workshop tersebut sesederhana karena aku ingin sekali menjadi teman yang baik dan selalu ada untuk membantu teman-temanku. Namun, hal itu kusadari belum bisa terlaksana, tak lain karena aku sendiri membutuhkan bantuan dan aku harus menyembuhkan diriku sendiri terlebih dahulu sebelum aku membantu orang lain. Di samping itu, aku selalu yakin, niat baik tidak akan mengkhianati.

Acara diselenggarakan di Kolega Antasari dan dimulai pukul 10.00, tetapi aku sudah sampai di venue sekitar pukul 09.00. Begitulah, aku sering kali datang lebih awal bila ada janji atau datang ke suatu acara, walau tak menutup kemungkinan aku juga bisa telat karena suatu hal tak selalu berjalan sesuai apa yang direncanakan. Kak Dynna, Kak Gina, dan Kak Nadia menyambutku riang, mereka pun kaget dengan salah satu peserta workshop yang datang kepagian ini.

Seraya mereka, para penyelenggara, mempersiapkan acara, Kak Gina menghampiriku dan membuka percakapan. Pembawaannya begitu hangat dan tidak menghakimi. Obrolan kami mengalir dengan mulus dan menimbulkan perasaan tenang juga lega. Entah mengapa, aku mempercayainya, padahal itu kali pertama kami bertemu. Mungkin karena sebelum itu aku suka lupa bagaimana rasanya percaya, bahkan pada diriku sendiri.

Di sini, aku akan ceritakan apa saja yang aku dapat dari role play dan materi yang disampaikan ya. Selain itu, bisa juga melihat selengkapnya di highlight Instagram story-nya Kak Dynna bertajuk Primepoint.



Workshop dimulai dengan menuliskan harapan kita setelah mengikuti workshop sampai selesai dan apa yang kita ingin terima dari orang lain ketika kita sedang butuh didengar. Lalu, menempelkannya di sebuah papan tulis besar di depan para peserta. Selanjutnya peserta berkenalan dengan orang yang berada di belakang atau di depannya dan menceritakan ulang tentang orang yang baru dikenal itu di depan peserta lainnya. Bentuk latihan sederhana untuk mendengar dan menyimak dengan santai sebagai teman bercerita yang baik.



Tahukah kamu apa definisi teman yang sesungguhnya? Ada enam kategori yaitu ramah, dekat, antarorang, kasih sayang, rasa saling percaya, dan niat baik. Ketika semua kategori terpenuhi, itulah yang dinamakan teman. Kalau kata Kak Dynna, sesungguhnya memang nggak ada ya istilah teman makan teman. Dari sini saja aku sudah banyak berpikir tentang pertemanan yang aku jalani hmm. Apakah aku benar-benar memiliki teman atau sekadar kenalan?

Nah, terus apa dong manfaat hubungan sosial dari memiliki teman?
- Meningkatkan rasa saling memiliki dan ada tujuan
- Meningkatkan rasa bahagia dan mengurangi stres
- Meningkatkan kepercayaan diri dan rasa bahagia
- Membantu beradaptasi dengan trauma (kejadian yang di luar kemampuan untuk menghadapinya)
- Mendorong perubahan atau meninggalkan kebiasaan hidup tak sehat (menurunkan risiko masalah kesehatan)
- Membuat panjang umur

Begitu positif, kan? Namun, aku akui bahwa tak semua orang yang kusangka sebagai teman memberikan beberapa manfaat tersebut atau bahkan aku yang tidak memberikan manfaat itu untuk mereka. Marak orang membicarakan toxic relationship, bisa jadi kita sedang mengalaminya walau tanpa menyadarinya ya. Aku sendiri sering (sekali) merasa bahwa aku bukanlah teman yang baik. Aku masih suka kelepasan untuk berpura-pura, bergantung pada mereka, menyinggung, dan bahkan menghakimi. Sadar atau tidak sadar, itu mengambil peran dalam kesedihan yang aku rasakan.

Aku mempertanyakan diriku sendiri, "Apakah kehadiranku penting?" Apalagi setelah aku mengutarakan rasa sedih, takut, dan bingung yang aku rasakan selama ini kepada orang-orang terdekat. Pasti akan muncul asumsi-asumsi tak berdasar yang tiba-tiba saja. Aku rasa, pemikiranku kadang kala memang lebih jahat dari pemikiran-pemikiran lain di dunia. Maka itu, aku selalu yakin kalau kita adalah penyembuh terbaik untuk diri kita sendiri karena kita memiliki kontrol penuh atas jiwa dan raga ini, sendiri ataupun dengan bantuan tentunya.


Kak Gina menyampaikan bahwa berdasarkan The Circles of Friendship yang dimodifikasi oleh R. Dunbar dalam The Anatomy of Friendship (2018), batasan jumlah orang yang dapat dipertahankan dalam suatu relasi sosial yang stabil adalah kurang lebih 150 orang. Di lingkaran yang paling dalam, hampir seluruh energi hidup kita akan dihabiskan untuk satu orang saja, sedangkan di luar itu sekitar setengah energi hidup kita akan dihabiskan untuk lima orang lainnya.

Peserta pun diminta menuliskan lima orang yang paling terpikirkan saat itu. Siapa saja, apapun hubungannya. Jujur, aku berhenti saat sudah menuliskan tiga nama, sulit sekali untuk meneruskan siapa yang ada di urutan keempat dan kelima. Pikiranku kusut dan mencoba menyelami siapa lagi ya orangnya? Aku langsung membayangkan apa saja kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi kalau aku tidak cermat betul dalam memilih siapa yang akan berada dalam lingkaran pertemananku. Mengerikan.

Bagaimana kita mengidentifikasi pertemanan? Mulai dari kerabat, kenalan, sejawat, teman main, teman dekat, sampai teman hidup. Semua itu bergantung pada keteraturan kita dalam berinteraksi dengan mereka melalui waktu, intensitas emosi, keintiman (kualitas keterbukaan), dan timbal balik. Hayooo, kira-kira pertemanan kalian bisa diidentifikasi sebagai apa? Kenalan saat nonton gigs di akhir pekan, sebatas sejawat kerja, teman main saat kuliah, atau bahkan sudah menjadi teman hidup?

Memupuk dan memelihara hubungan sosial itu perlu inisiatif untuk memulai. Kalau dari awal sudah gengsi, bagaimana mau membangun suatu hubungan pertemanan? Ditambah usaha untuk membuka diri dan komunikasi dua arah sebagai bentuk timbal balik sehingga bisa sama-sama berproses, sama-sama belajar, dan saling menyesuaikan. Contohnya bersikap baik, mendengarkan, terbuka, dapat dipercaya, meluangkan waktu, dan adanya kendali diri. Indah sekali, ya? Semoga kita semua bisa mengimplementasikannya untuk menjalin pertemanan yang baik. Tidak hanya dengan orang lain, terlebih menjadi teman untuk diri kita sendiri.


Sesuai tema workshop, teman yang suportif itu yang bisa mendukung satu sama lain, tapi bagaimana cara menunjukkannya?
- Menanyakan perasaan orang lain dan menyimak
- Membicarakan perbedaan dengan sikap yang sensitif
Jujur dan terbuka
- Memperhatikan sekitar
- Bersabar saat mendengarkan
- Merefleksikan apa yang sudah kita dengar

Dalam menunjukkan dukungan, aku masih terus belajar dan berlatih. Soalnya aku hanya manusia biasa yang masih suka nggak peka terhadap sekitar dan manusia lainnya huft. Kata Dunbar (2018), dalam membangun hubungan sosial kita butuh kemampuan berpikir yang menghasilkan rasa percaya dan mentalisasi untuk berempati. Selain itu, waktu juga penting sebagai investasi dan menciptakan kedekatan emosional. Dari situ kita bisa simpulkan bahwa menentukan prioritas adalah kunci.

Kebutuhan manusia akan dukungan psikologis itu bisa membuat bahagia, sehat jiwa, dan panjang umur. Berdasarkan UU 18 Tahun 2014, Kesehatan Jiwa, Pasal 1, sehat jiwa adalah, "Kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya." Aku yakin kita semua sudah paham bahwa kesehatan fisik dan mental itu sama pentingnya.


Kak Gina menyampaikan metode sederhana yang bisa kita lakukan untuk menjadi teman yang suportif yaitu metode "R U OK?". Metode yang pertama kali dikemukakan sebagai langkah pencegahan bunuh diri di Australia ini bertujuan agar orang-orang bisa saling terhubung secara bermakna dan mendukung sesama, terutama untuk yang sedang berjuang dengan kehidupan. Dengan metode ini, mereka yang sedang mengalami stres dan merasa terisolasi bisa menjadi lebih lega, merasa didukung, dan memiliki harapan hidup yang lebih baik.

Langkah-langkahnya tentu saja mudah: Tanyakan, "Apa kabarmu?" -> Dengarkan -> Berikan dukungan -> Ikuti perkembangnya. Kapan kita perlu menerapkan metode ini? Ketika seseorang berubah, lebih diam, lebih gelisah, lebih pemarah, dan atau lebih senang menyendiri. Terlarut dengan hal-hal besar dan melupakan hal kecil (bukan berarti tidak penting) kerap terjadi, memang manusia itu selalu butuh diingatkan karena lupa itu alamiah. Padahal dari metode simpel seperti ini, kita bisa sedikit banyak berkontribusi untuk membantu orang lain ya?


Namun, sebelum jaga orang lain, kita harus jaga diri kita sendiri terlebih dahulu. Apakah aku siap? Apakah aku telah disiapkan? Siap waktu untuk mendengarkan, siap kondisi fisik dan mental, siap kapasitas. Saat mengambil kesempatan untuk menerapkan metode "R U OK?" ke teman, kita bisa bersikap peduli saat benar-benar siap, tetapi kalau memang sedang tidak, kita bisa mulai dengan berikan dukungan dulu.




Ini nih hal-hal yang perlu diperhatikan dari metode "R U OK?":

- Tenang, bersahabat, menunjukkan perhatian
- Menggunakan pertanyaan terbuka
- Sebutkan secara spesifik apa yang membuat kita peduli
- Jika tidak ingin berbicara, jangan memaksa dan mengkritisi
- Sampaikan bahwa kita tetap peduli dengan apa yang mungkin berubah dan kita peduli untuk membantu
- Hindari konfrontasi
- Sampaikan "Hubungi saya jika kamu merasa saya bisa membantu, ya" atau "Apakah ada seseorang yang bisa membantu atau menemani?"

Sebisa mungkin kita dengarkan tanpa menghakimi. Tanggapi apa yang disampaikan secara serius dan jangan menginterupsi, apalagi memaksa untuk cepat-cepat. Jangan juga menghakimi pengalaman atau reaksi mereka, tetapi coba pahami bahwa kondisi yang sedang dialami itu tidak mudah bagi mereka. Jika kita butuh waktu untuk berpikir, duduk sebentar dengan sabar dalam diam agar pikiran tetap jernih.


Kita bisa bantu mereka untuk menjelaskan, "Bagaimana perasaanmu tentang itu?" atau "Berapa lama kamu telah merasakaan hal ini?". Penting juga untuk menunjukkan bahwa kita mendengarkan, selalu, dan tanyakan apakah kita telah memahami dengan benar. Terlepas dari itu, kita sebagai teman harus pastikan dulu dari awal, apakah waktunya pas untuk menanyakan kabar dan apakah waktunya cukup untuk mendengarkan.




Ada contoh percakapan yang seharusnya tidak kita gunakan kembali. Jujur saja, aku pernah (atau bahkan sering) menggunakannya dulu saat mendengarkan cerita teman-temanku, seperti "Saya tahu apa yang kamu alami." atau "Coba berpikir positif dan lihat sisi terangnya." Duh, malu dan sedih kalau memikirkannya, padahal kita tidak pernah benar-bernar tahu apa yang orang lain sedang alami, kan? Daya ketahanan manusia terhadap suatu hal itu berbeda-beda.


Alih-alih menggunakan kalimat-kalimat itu, coba berhenti dan ganti dengan, "Aku bisa membayangkan...", "Kamu tidak sendiri.", atau "Bagaimana saya bisa membantumu?" Adapun pilihan percakapan lain untuk memberikan dukungan yaitu

- "Apakah kamu telah membicarakan ini dengan orang lain?"
- "Apa yang telah kamu lakukan?"
- "Menurutmu, bagaimana caramu menyelesaikan masalah ini?"
- "Bagaimana kita bisa membuat hidup kita lebih mudah?"
- "Saya siap sedia kalau kamu membutuhkan bantuan, ya."



Setelah dijelaskan dasar-dasar metode "R U OK?" oleh Kak Gina, para peserta pun melakukan role play. Ada yang menjadi pencerita, ada yang mendengarkan dan menanggapi, dan ada pula yang mengobservasi jalannya percakapan. Peserta melakukan role play berkelompok dengan anggota empat orang dan ada satu fasilitator dari penyelenggara workshop yang turut mengamati, Kak Dynna lah orangnya di kelompokku. Dengan praktik langsung melalui role play, aku sebagai peserta jadi lebih paham bagaimana seharusnya aku bertindak ketika sedang mendengarkan seseorang. Jika kita sudah memiliki kesadaran penuh untuk membantu, rasa peka akan muncul dengan sendirinya.


Bila kondisinya sudah mengganggu keseharian, lebih dari dua minggu, dan merasa di luar kapasitas, kita bisa coba tanyakan, "Apakah akan bermanfaat untuk menghubungkan dengan seseorang yang dapat lebih membantu?" atau "Saya akan sangat gembira untuk membantumu menemukan orang yang tepat." Jangan lupa untuk selalu menekankan KITA dalam proses ini sehingga teman kita tidak merasa sendirian.




Setelah itu, sebisa mungkin kita komitmen untuk ikuti terus perkembangan keadaannya, sesederhana "Kapan-kapan bertukar kabar lagi, ya. Kita lihat bersama kondisimu." atau "Hai, apa kabar? Sudah seminggu kita belum ngobrol lagi, ya." Dengan segera menghubungi mereka kembali, kita tanyakan apa yang telah dilakukan dan apa yang membantu. Jika mereka belum melakukan apapun, jangan pernah hakimi ya! Mungkin ada latar belakang baru yang belum sempat diceritakan kepada kita. Penting untuk saling menghubungi dan ada untuk mereka karena ketulusan dan kepedulian dapat membuat semuanya berbeda.


Di akhir sesi, kami diminta untuk menuliskan sebuah surat untuk teman yang paling ingin dibantu. Alasannya, serta kepedulian yang tulus kami tuangkan dalam secarik kertas yang kemudian dimasukkan ke dalam amplop tertutup. Surat itu, kata Kak Gina, sebagai pengingat bahwa kita semua bisa menjadi seorang teman yang suportif.




Kembali ke awal, selalu utamakan niat baik. Dengan langkah yang murni dan jujur dari hati, satu pertanyaan bisa membawa perubahan dalam hidup seseorang. Yuk, jadi teman yang suportif! Mau, kan?


Semoga aku, kamu, kita, bisa selalu percaya dan berharap pada kebaikan, selalu.


Selamat menjalani hidup, ya! :)


Foto: Tim Dokumentasi Primepoint.ID