Wednesday, December 19, 2018

A Goal

I never adored clingy woman, neither do I aspired to be one.

Thru the journey that I never expected this year, one thing that I learned best:
Enjoying my time with myself, my loneliness, is one of the ways to live my life consciously.

By time, I am content with or without any companion, but when I am with someone else, or  to be exact: someone special that I love, be respectful of their thoughts, their feelings, and everything in between is a must. I believed I will always be that person who listen rather than talk and that's how I respect you.

The more I suffered this year, the more I realized, to become a principled person is a goal. I started to be that since forever, but it's a process of learning, that's what. I don't have to like what others liked, I don't always have to agree to all things that they liked. Maybe at first it's gonna be confusing, but I just hope that people will sense my principle.

Wednesday, December 5, 2018

Dari Sastrawan Idola Nenek

"Kesedihan tidak untuk dipampangkan kepada semua orang. Itu adalah sesuatu yang seharusnya diimpit-impit, diselinapkan di balik lapisan penutup. Karena kesedihan adalah hal yang sangat pribadi, seperti rahasia, harus disembunyikan dari pandang orang lain." - Nh. Dini

Maafkan atas segala yang pernah terlontar dan menyisakan pahit pada setiap kamu.

Friday, November 30, 2018

Journey to the Light

I think this is it. I don't understand why everything's so confusing, though that's just the way it is.

It's an endless ride;
Humble myself. Ask His guidance. Ask His protection.

I try to understand, I go out, I walk on earth, I see the world.

To see things in different perspective;
May I experience the light upon light, until Allah pulls me out from the darkness.

Sunday, November 25, 2018

Jatuh Cinta

Malam itu, di suatu distrik bisnis ibu kota, melebur dengan semesta.

:Permulaan

Kaki yang belang akibat suka pakai sepatu terbuka itu dilangkahkan oleh seorang dara di pusat perbelanjaan kawasan Sudirman, satu per satu menuruni anak tangga curam menuju halte bus. Bukan untuk bus, melainkan ojek daring.

Dalam balutan jaket biru gelap bermotif pohon, kelinci, dan bunga: hal-hal yang disukainya, perempuan berkerudung merah muda itu diketahui sedang sendiri, tetapi tidak kesepian. Ponselnya menyala, menampakkan surel yang ia terima tepat kemarin, berisikan tempat rahasia diadakannya sebuah pertunjukan musik.

Ojeknya datang.

:Perjalanan

Sebetulnya hanya terpisahkan jarak 4 km, tetapi terasa lebih jauh karena rekayasa lalu lintas yang berlaku. Jalanan sepi kendaraan bermotor, padahal itu malam Minggu, hanya ramai daun-daun jatuh dan beberapa pikiran yang berjalan di trotoar.

Ia menyusuri kawasan Senayan, lalu Senopati, mesra berdua dengan seorang bapak baik hati yang tahu jalan, sampai akhirnya tiba di distrik bisnis ibu kota yang berputar, memusingkan.

:Pengalaman

Kembali sang dara bersua dengan halte bus di depan sebuah gedung yang memancarkan sejuta warna ke segala penjuru, berseri dan memikat pandang siapa saja yang mendapat anugerah penglihatan karena kilaunya. Kaki belang itu pun menjejaki jalan dengan kanan-kiri pencakar langit sebagai pemandangan, menyeberangi garis hitam putih.


Ia tiba di tujuannya, pertunjukan musik sebagai kencan dengan dirinya sendiri yang sudah lama terabaikan. Perempuan itu memang sering lupa untuk jatuh cinta dengan siapa yang berada di dalam jiwanya, membahagiakan orang lain menjadi lebih nikmat 'tuk dilakukan. Keinginan untuk memeluk setiap relung yang ia sebut sebagai aku menguat erat.


Yura Yunita, Dhira Bongs, Bilal Indrajaya, dan Bedjana. Keempatnya membuat ia terpukau, musik yang disajikan mereka semua membuat telinga siapa pun jatuh cinta. Belum lagi suasana hangat dengan latar gemerlap ibu kota dari ketinggian lantai 25, begitu memanjakan mata, hati, dan pikiran manusia yang berada di sana.

Setelah acara selesai, ia menyapa seorang perempuan berkerudung krem, mengenakan baju hangat berwarna jingga dan celana jin, serta sepatu Vans Checkerboard yang tidak tampak baru.


"Keren banget nggak, sih?"

Itu kata-kata yang terlontar pertama kali dari mulut sang dara. Tadinya ia hampir mengarahkan kalimat itu kepada laki-laki di samping kirinya, tetapi ia terlalu malu untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Tak lama, perempuan tadilah yang datang dan duduk di sebelah kanan, namanya Kenni. Kenni menyambut ramah dan terjadilah percakapan menyenangkan antara keduanya.

Sama-sama sedang deactivate media sosial, sering bepergian sendiri, dan menikmati musik malam itu. Keduanya tertawa karena menemukan begitu banyak kesamaan, bercerita lebih banyak lagi tentang diri masing-masing, dan menatap setiap orang yang masih tersisa di dalam ruangan. Sampai akhirnya memutuskan untuk turun karena sudah larut dan waktu menunjukkan untuk pulang.


Ia dan Kenni tidak bertukar nomor telepon atau surel. Sesederhana karena keduanya yakin, bila memang harus dipertemukan kembali, Tuhan yang akan beri jalan untuk bertemu. Berjabat dan melambaikan tangan, Kenni berjalan menuju parkiran dan sang dara berjalan menuju halte tempat ia pertama kali datang.

:Pencerahan

Semilir angin malam tidak terasa menakutkan, tetapi bersahabat dan mengajaknya berpelukan. Ia genggam erat setiap cinta yang ia rasakan. Malam itu, ia merasa penuh dan menyatu tulus dengan bumi. Berjalan sendirian pukul setengah dua belas malam tidak terasa menyeramkan, tetapi melegakan. Ia menikmati dirinya sendiri seutuhnya. Meneteskan beberapa bulir air dari matanya, lalu tersenyum dan tertawa bersama lampu-lampu jalanan.

Doa-doa yang selalu ia panjatkan, entah berapa ribu waktu dan purnama sudah dihabiskan, terbayar malam itu. Ada perasaan plonggg dan membuatnya ingin berkata, "Aaahhhhh". Pelan-pelan, tetapi pasti, ternyata kita adalah apa yang kita percayai. Pemilik semesta dan segala isinya selalu mempunyai cara yang tidak disangka-sangka dan memang sebaik-baiknya tempat berharap.

Sambil menunggu taksi yang agak lama datang, ia menyapa semua makhluk yang ditemuinya, terlihat atau tidak, ia merasa menjadi teman untuk siapa saja. Terlebih, ia akhirnya bisa menjadi teman untuk dirinya sendiri. Segala beban yang ia pikul masih terasa di dada, tetapi malam itu, rasanya ia bisa menaklukkan apa saja. Teringat perkataan seseorang yang pernah ditemuinya di Instagram,

"Kehilangan adalah ilusi karena kita tidak pernah benar-benar memiliki, kita tidak punya apa-apa selain diri kita sendiri."

Siapa yang ia sebut sebagai aku adalah tanggung jawabnya sendiri. Damai didefinisikan dengan memaafkan diri sendiri sepenuhnya. Mengenali, merasakan, mengakui, dan mengizinkan apapun yang ia rasakan, lakukan. Ia sadar, diri sendiri adalah penolong dan penyembuh paling manjur, terutama dengan bantuan dahsyat dari Sang Mahasegalanya.

:Kepulangan

Seorang bapak pengemudi taksi terlihat tua, tetapi tenaganya masih bisa membuat ia menjadi seorang pembalap. Entah, si dara muda merasa ia siap menjemput keabadian saat berada di kursi belakang mobil. Namun, memang bukan saatnya. Mungkin nanti, masih lama atau sebentar lagi. Ia hanya tahu untuk mendengar kisah sang bapak yang harus merelakan waktu dengan keluarganya di Sukabumi terbuang demi pilu pekerjaan di Jakarta.

Dan...

Perihal pulang adalah Ibu. Tujuan dari destinasinya saat ini adalah Ibu. Alasan dari pekerjaan yang tak pernah ia sukai adalah Ibu. Semua hal yang ia lakukan, mencoba memaafkan laki-laki yang sampai kini belum bisa ia jadikan panutan, masakan yang ia sentuh dengan sayang, adalah Ibu. Dulu, kini, nanti, selamanya adalah Ibu.

Ibu telah menjadi caregiver yang paling setia dan selalu mau belajar, terhadap kebimbangan, kebahagiaan, dan segala yang terjadi selama satu tahun penuh perjuangan. Ia bersyukur atas setiap tetes keringat dan air mata yang jatuh setiap malam, cekik penuh ketiba-tibaan dan pukulan dinding selemah pengecut, panas setrika membakar permukaan kulit, setiap sakit dan pahit. Ibu yang membuatnya jatuh cinta lagi pada dirinya sendiri.

Wednesday, November 21, 2018

Ada Apa #14 | Wisuda

Wisuda,
perayaan atau perpisahan?

"W sedi u gag ikut wisuda...:(
W bilang ae geninkkk.
U kan padahal harusnya duduk samping w tau nink kan sesuai nim HIKS."

Terlepas dari cara penulisannya yang alay, pesan yang masuk di WhatsApp saya kemarin malam bikin termenung. Datang dari seorang teman yang jadi saksi tentang seorang yang saya anggap aku, selama perkuliahan kurang lebih empat tahun, di suatu kampus yang gedungnya seperti telur dinosaurus.

Setiap ada percakapan mengenai wisuda, saya selalu bilang bahwa saya enggak akan ikut wisuda. Banyak hal yang jadi pertimbangan dan saya yakin saya enggak bakal kenapa-kenapa juga kalau enggak ikut, jadi enggak ada salahnya untuk tidak menjadi bagian dari perhelatan yang selalu ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa itu. Paling penting adalah saya lulus yudisium, itu kan yang diperlukan untuk keluarnya ijazah?

Saya enggak ingin wisuda, selayaknya saya enggak ingin resepsi. Menurut saya, keduanya hanyalah perayaan. Inti yang harus saya selam adalah yudisium dan akad, itu saja. Makanya, saya pikir saya akan baik-baik saja. Terlebih, pasti akan sulit untuk datang ke wisuda bila harus ada yang dikorbankan, hati yang patah, masalah yang belum selesai, saya enggak siap untuk menghadapinya. Namun, lagi-lagi, saya lupa untuk memulai percakapan dengan diri saya sendiri.

Hari ini saya memikirkan terus, apakah saya enggak sedih? Nanti saya enggak akan ada di dalam ruangan, enggak akan ada di foto angkatan, enggak akan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa teman-teman seperjuangan sudah bisa membanggakan orang-orang tersayang dan diri mereka sendiri, di dalam ruangan perayaan, atau perpisahan, yang disebut wisuda. Ini momen yang memang seharusnya dirayakan, kata beberapa teman.

Kurang dari dua minggu, wisuda akan tiba. Saya bahkan masih belum yakin, apakah datang ke sana adalah keputusan yang tepat? Suatu keberanian atau malah pemicu rendah diri? Bukan karena saya enggak wisuda, tapi karena kalau saya ikut wisuda pun, saya enggak bisa seperti orang-orang biasanya, datang penuh senyum dan bergandeng tangan dengan kesayangan.

Ternyata saya sedih dan saya bingung sendiri, kenapa harus mengakui di detik-detik terakhir? Saya merasa enggak enak banget sama orang tua, terutama Ibu, yang saya tahu selalu ada dari dulu, kini, sampai nanti. Ibu cukup sering membahas hal ini, saya tahu ia sangat ingin melihat anaknya wisuda. Pakai baju bagus, berfoto, melihat anaknya maju ke atas panggung dan bersalaman dengan rektor, menyaksi senyum atau tangis karena bahagia. Sampai terlontar bahwa ia ikhlas atas apapun keputusan yang saya ambil, wisuda atau tidak, bukan masalah asalkan itu yang saya yakin terbaik.

Sekarang kerongkongan saya tercekat, apakah saya terlalu memikirkan diri sendiri? Ini egois atau bentuk self-love yang sedang ramai disampaikan orang? Semoga keputusan ini matang karena proses memasaknya yang membutuhkan waktu lama. Saya juga enggak bisa membayangkan kalau saya memilih untuk wisuda, datang sendirian, entah serapah apa yang akan saya terima dari orang-orang yang saya buat patah hati.

Yang saya tahu, daripada harus membuat lebih banyak orang patah hatinya, biar saya sendiri saja yang merasakannya.

Sunday, November 11, 2018

Secercah Kedoya: Liputan Pertama

Halo! Been thinking about writing this experience on the blog or not, tapi sekarang saya yakin kalau ini harus diabadikan, demi diri saya sendiri, untuk kenang-kenangan di masa mendatang.


Euphoria at the Electric Jakarta Marathon 2018

Bagaimana fotonya? Cukup bagus, ya? Hahaha, gapapa dong sesekali memuji diri sendiri, saya senang melihat diri ini bisa berjuang melawan sisi-sisi jahat yang kadang suka muncul dan menghambat keinginan untuk maju.

Hari itu, Jumat terakhir di bulan sepuluh, supervisor saya mengabarkan kalau di hari Minggu saya akan turun lapangan untuk liputan pertama. Senang, tapi deg-deg serrr juga, sih. Ini sudah saya tunggu-tunggu sejak awal, tapi liputan foto? Saya nggak pernah bagus dalam fotografi dan videografi, sesederhana karena saya tremor HAHA. Apa-apa yang diambil pasti goyang dan hasilnya blur, kecuali dengan stabilizer atau auto mode tentunya.


"Hah, liputan, Kak? Kita? Berdua?"

Luckily, saya ditemani sama anak magang, Icha. Teman jajan selama di kantor, yang selalu bikin ketawa, dan bikin mupeng kalo lihat doi lagi makan (and I'll definitely miss her when she's not here anymore). Tentu saja, saya juga dapat pengarahan fotografi singkat dari Adit, teman semester satu saya di kampus (yang sampai sekarang masih harus berjuang, kelarin cepet, Dit!), juga orang yang sebenarnya enggak jelas, tapi baik banget deh hatinya. Mas Ibnu, Account Executive (AE) yang mengurus work order untuk Electric Jakarta Marathon 2018, acara yang diliput, pun sangat kooperatif dan membimbing saya yang kadang-kadang suka error ini hehehe.


"Pokoknya lu pake auto atau sport mode terus ya, Ndis"

Until the day came, saya harus bangun pukul 01.00. Ya, sedini itu, karena untuk pergi keluar saya butuh waktu setidaknya 1-2 jam persiapan, juga harus sampai di venue pukul 03.00. Oh well, demi itu pun saya makan Indomie goreng + telur ceplok + nasi HAHA enggak ada makanan lagi di rumah, tapi atas nama stamina saya lakukan karena pas liputan pasti enggak akan sempat makan atau mikirin perut.

Akhirnya ketemuan sama Icha di McDonald's Jalan Panjang dan langsung meluncur ke Gelora Bung Karno (GBK) diantar oleh pacarnya (thank you, Dimas!). Pikiran saat itu, "Gila! Pagi-pagi buta gini rasanya kayak kilas balik ke waktu syuting Enjoy Your Weekend ke Ancol pas di UMN TV dulu." Beneran deh, bikin ketawa dan kangen banget sama UMN TV. Gimana enggak? Hampir 3/4 kehidupan kampus saya habiskan bareng komunitas media kampus itu, tumbuh-kembang saya sebagai individu sedikit-banyak karena UMN TV juga.


Sebuah potret bahagia dari keluarga kecil
yang mengikuti kategori 5K

Pas awal datang, kami masih nempelin Mas Reno, salah satu Production Assistant (PA) di bagian TV, sedangkan kami kan tim media sosial di bagian media daring. Orangnya baik banget sih, walaupun enggak banyak bicara, sungguh membantu kami saat di lapangan. Lalu, ketemu juga sama Mas Arif, salah satu pengurus media di acara yang sedang kami liput. Mas Arif cekatan juga kalau ditanya ini-itu, bikin senang karena kami jadi enggak clueless.


One of the potential winners for the Full Marathon

Kurang-lebih kami berada di GBK selama 8 jam, kami sudah bisa pulang pukul 11.00-an karena fotonya sudah dapat semua dan yang penting kliennya senang sama hasilnya. It was a very memorable moment for me and I'm craving for more. Dari liputan itu saya belajar, jangan malu-malu untuk sok kenal sok deket alias SKSD ke orang daripada nyesel belakangan.

Oh, saingan pas liputan untuk manusia mini seperti saya ternyata bukan sesama manusia, tapi tripod pemirsa. Ya, benda mati itu :) Saya bangga sih karena saya berani manjat pagar besi demi mendapat foto yang bagus atau loncat-loncat sampai ada seorang wartawan laki-laki yang bilang, "Ini pake spot saya aja di depan sini, biar enggak usah loncat segala." I'm forever thankful for you, duhai Mas yang tidak diketahui namanya hahaha.


With the one and only, Icha <3

Bonus selfie berdua sama Icha yang sudah back-up foto pakai iPhone dengan sangat baik. Oh, she was also very patient with my temper selama liputan berlangsung. She's truly an angel, deh. I'm so proud of her.

Enough for now, will be back blogging later!

Thursday, November 8, 2018

Aku Ada

Kemarin tiba-tiba aku menerima chat kalau akan dijemput dan ditraktir makan malam. Entah mengapa, cara Tuhan itu selalu tidak terpikirkan dan ada-ada saja. Aku merasa ada. Walaupun aku nggak bisa jujur ke banyak orang dan cenderung memendam perasaan, tapi sedikit tertawa dengan teman-teman nggak ada salahnya, kan?


Fish Streat, 7 November 2018

Aku bertemu Alca, Devin, dan Gaby untuk mensyukuri ketiganya yang masih diberi udara 'tuk dihirup sampai usia saat ini. Di minggu sebelumnya aku makan bakmi sama Angel, lalu main ke pasar dan nonton sama Icha. Oh, dan papasan dengan Raisa saat naik Go-Jek dan di salah satu pusat perbelanjaan. Sebelumnya lagi aku jalan-jalan ke empat museum di Kota Tua sambil minum jamu sama Farhah. Tepat seminggu sebelum bertemu Farhah, aku kencan di perpustakaan dan Pasar Santa sama Rana sampai bukan hanya perut yang penuh, tapi jiwaku juga. Oh, dan sebotol madu dari Kak Melanie kesayangan dan obrolan sedalam lautan dengan yang sedang jatuh sepertiku (tapi akan segera bangkit secepatnya), Kak Nissy seorang.

Namun, minggu ini aku rehat karena kondisi tubuh yang nggak sehat, tapi aku antusias, siapa lagi minggu depan? Ke mana? Ada cerita apa?

Aku nggak melulu sekubu dengan teman-temanku, tapi selalu ada percikan hangat di tengah dinginnya hidupku bila sedang bersama mereka. Setidaknya, saat aku sedang menjadi aku yang terburuk sekalipun, teman-temanku tetap ada. Mungkin aku masih memikirkan mereka-mereka yang terkesan meninggalkan, tapi aku coba menikmati yang ada sekarang. Bukan hanya mereka bertiga dalam foto, tapi untuk semuanya, yang setia bertahan walau saat berjumpa kita sudah tak sempat mengabadikan momen dalam sebuah foto.

Terima kasih ya, aku bahagia punya kalian, aku ingin fokus pada hal-hal yang aku punya, seperti kalian, dan aku akan terus belajar untuk bersyukur sepenuhnya.

Thursday, October 25, 2018

Secercah Kedoya: Tentang Sekitar

Apa saja yang terjadi di sekitarmu, Gendis?

Banyak sekali dan aku menuliskannya di kepalaku. Sekarang aku ingin bagikan, sebagian kecil dari hal-hal yang aku suka dan terjadi di minggu terakhir bulan sepuluh ini.

Doa Supir Transjakarta
__ 
Memasuki gerbang tol pertama, selagi menempelkan e-money, ia tadahkan tangannya, khidmat. Melihatnya sambil berkata 'aamiin' dalam hati, tenang. Sang bapak bernama Muhamad Yufril A.

Perihal Gendis
__
Barangkali Pak Sapardi pernah memperhatikanku dari jauh, jauh sekali di semesta yang lain. Percayalah tidak pernah ada yang kebetulan, tetapi apa artinya sebuah kitab puisi bisa begitu apik dalam mengisahkan hidupku?

Anak Magang
__
Icha dan Adit, yang membantuku bertahan, pun sudah terlintas sejak dini, apa jadinya aku saat mereka sudah selesai di sini? Afif dan Azmy, yang tulus mendengarkan keluh kesah tak berkesudahan, akankah selalu ada sampai kapan-kapan?

Pelukan Ibu
__
Kejujuran mengantarkanku pada pelukan Ibu (yang selalu aku idam-idamkan). Berapa waktu yang aku butuhkan untuk mengutarakan, berkutat dengan pikiran yang tak ada habis-habisnya, ternyata hanya pelukan Ibu yang meredakan. 'Maafkan Ibu', katanya.

Wallpaper HP Supir Go-Jek
__
Hangat melihat foto seorang anak perempuan dengan kerudung pink. Apa yang ia perjuangkan di jalan, pasti untuk buah hati kesayangan. Apa yang lebih menenangkan dari kasih seorang ayah untuk anak perempuannya?

Rabu tanpa Tangis
__
Bukan mitos kalau tahun ini aku selalu menyisakan sedikit waktu untuk air mataku mengalir, setiap harinya, tanpa tanda-tanda, begitu saja. Namun, begitu bahagianya kemarin sampai aku takjub, buliran air asin itu tidak jatuh. Seterusnya, mungkinkah?

Membaca dan Menulis
__
Dan tentu saja, aku kembali membaca dan menulis, tentang apa saja. Akhirnya, penantian atas pulangnya jiwaku yang berkelana kepada akarnya tiba juga. Aksara adalah batin.

Lalu, apa yang terjadi di sekitarmu?

Sunday, October 21, 2018

Ada Apa #13 | Sirna

Tentang melupakan, dilupakan.

Saya ingat betul, sebuah kalimat yang saya tulis tahun 2003, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 2:

Masa kecil takkan kulupakan, tapi aku ingin melupakannya.
Apa yang kau inginkan? Apa kau juga ingin?
Mungkin kau bisa, tapi aku tak bisa.
Saat aku lihat teman-teman,
aku ingin seperti mereka, tapi sayang sekali aku tak bisa.
Terima kasih teman-teman.
(Sabtu, 20 September 2003)

Jujur, apa adanya, sungguh menggambarkan situasi saat itu, atau bahkan kini? Bisa jadi. Tulisan itu ada di halaman depan buku harian saya, pintu dari banyak tulisan di belakangnya yang multitafsir.

Tahun ini adalah perlawanan. Melawan ingatan, menetap atau sirna, tumbuh atau hangus. Semua memori buruk saya diputar selayaknya film, tanpa ada pilihan pause atau stop, terus berputar hilang ampun. Berawal dari cuplikan, film pendek, sampai yang durasinya panjang. Datang tanpa diminta, waktu bukanlah kawan. Jawabanku sederhana, mengapa? Oh, pertanyaan, tidak berhenti.

Meminta bantuan dan bercerita adalah tantangan, terlebih saat saya benar-benar merasa sendirian, sesederhana karena tidak mau menjadi beban. Apakah wajar merasa demikian?

Tuesday, October 2, 2018

Di Keheningan

Selamat jalan keabadian,
yang wanginya belum tercium
Walau jarak meniada bumi.

Kapan memijak tanah?
Kalau yang berpikir berhenti,
dan memusnahkan hati.

Seribu kata tak 'kan mampu,
...

Tuesday, September 18, 2018

Secercah Kedoya: First Day

Tabik!

Hari ini adalah hari kedua saya bekerja. Tepatnya, bekerja di sebuah media daring dari saluran televisi yang berkantor di daerah Kedoya. Entah beruntung atau tidak, saya datang (sangat) kepagian hari ini, sudah menginjakkan kaki dengan santai pada pukul 08.00, sedangkan waktu mulai kerja masih pada pukul 09.00. Pintu ruangan kerja saya pun masih terkunci, malang saya menunggu di lobby sendiri. Namun, selalu ada sisi baiknya, saya jadi bisa menulis post untuk blog yang lama tak tersentuh tulisan panjang.

Kemarin, saat hari pertama, saya merasa campur aduk. Senang, karena jeda waktu antara kelulusan dan bekerja sungguh sebentar, heran sama diri sendiri ternyata bisa meraih hal ini. Sedih, karena saya benar-benar meninggalkan kehidupan saya sebagai mahasiswa, titel yang paling saya suka sejauh ini. Bingung, karena saya sudah harus bayar pajak selayaknya orang dewasa lain, ini begitu cepat. Dan hal lain yang datang tiba-tiba akibat merenung di perjalanan, makan siang yang terasa sepi, dan kaki yang ceroboh sehingga terantuk batu besar depan kantor.

Ternyata, kurang lebih apa yang saya kerjakan saat bergabung dengan UMN TV, media kampus yang saya ikuti dulu, merupakan gambaran yang apik terhadap pekerjaan saya sekarang. Untuk jabatan memang seperti pekerjaan lepas atau saat magang dulu yaitu social media officer di Creative and Social Media Department, tetapi di sini alur dan cara kerjanya cukup berbeda. Bedanya, kemampuan menulis memang dibutuhkan, tapi alangkah lebih baik kalau saya punya kemampuan menyunting gambar atau foto. Untuk video, saya memang ada basic, meskipun ya nggak jago-jago amat. Mungkin saya saja yang belum terbiasa, semoga saja saya bisa catching up secepatnya.

Makan siang saya hampir sendirian kemarin, sampai sekitar pukul 14.00 itu belum ada teman sedepartemen yang istirahat atau makan. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi sendiri, saya lapar banget, tapi masih gengsi dan malu untuk mengajak yang lain. Beruntungnya ada rekan satu departemen yang juga ingin makan, jadi nggak harus sendirian. Selain itu, ia juga berbaik hati meminjamkan kupon makannya karena punya saya belum diisi oleh HRD. Well, perut aman dan berhenti bergoyang deh.

Di hari pertama, pekerjaan saya belum berat, masih copywriting spontan untuk kultweet dari video-video program televisi tentang finansial. Sesungguhnya, saya kaget dan masih bingung karena biasanya saya selalu ada guidelines dalam social media handling, seperti KPI (key performance indicator) yang ingin dicapai, content pillar, dan segala do's and dont's-nya. Kalau sekarang, karena hal tersebut belum disampaikan kepada saya, saya hanya bisa mempelajari pola yang sudah dilakukan oleh teman-teman sedepartemen, bagaimana gaya bahasa yang digunakan, pemilihan kata, dan sebagainya.

Oh! Dan satu hal lagi yang membuat pengalaman kerja ini lebih menyenangkan, saya sudah bisa naik bus, sendirian! Ternyata bergelantungan di bus lebih menantang dibandingkan di kereta. Saya harus cekatan dengan sopir yang suka ngerem mendadak, kaki harus kuat, pegangan tangan pun harus erat. Sejauh ini masih menyenangkan, semoga masih sampai nanti.

Cukup untuk hari ini, sampai jumpa nanti!

Friday, September 14, 2018

Mantra Mantra

Mantra Mantra, album baru dari Kunto Aji, itu sangat... bikin termenung, berpikir, tetapi sekaligus menenangkan.


Begitu rilis hari ini, 14 September 2018, membuatku langsung ingin memutarnya terus-menerus, sepanjang hari.

Kunto Aji berhasil mengingatkan bahwa seberapa besar awan hitam datang, api-api kecil itu biasa, dan pada akhirnya kita sebagai manusia hanya bisa menyerahkan semua pada semesta. Apakah akan berakhir baik-baik saja? Semoga.

Walaupun ada satu pertanyaan yang kembali muncul, sedari dulu telah mengganggu,
kita dan semesta, satu kesatuan atau entitas yang berbeda?

Friday, September 7, 2018

Jeda

Ternyata, menjadi pengangguran sama sekali tidak enak. Pikiranku menjadi cukup kacau tanpa diutarakan melalui diskusi-diskusi. Makanya, meditasi menjadi pilihan utama, agar aku tidak termakan oleh pikiran-pikiranku sendiri.

Instagram's Post @nikeprima

Namun, aku sangat setuju dengan Bu Niknik dalam konten yang ia unggah di Instagram beberapa waktu lalu. Semoga jeda yang aku rasakan kini bisa memberikan sesuatu berarti untuk jiwa dan raga.

Wednesday, August 8, 2018

Idola Baru: Keluarganya Rafa

Hola!

Aku mau cerita tentang idola baruku! Mereka adalah...
Keluarganya Rafa!

Jadi, mereka adalah tetangga baru di depan rumahku yang pindah kurang lebih sebulan lalu. Rafa, si sulung, adalah seorang anak laki-laki dan ia memiliki satu adik laki-laki, kalau tidak salah namanya Raya. Orang tuanya biasa disapa Bunda Rafa dan Ayah Rafa, as simple as karena aku nggak tahu nama aslinya (HAHA) dan aku hanya mengikuti bagaimana Rafa dan adiknya memanggil orang tuanya. Sekarang Bunda Rafa pun sedang hamil enam bulan dan aku sangat berharap anak yang ada di dalam kandungannya adalah perempuan! (WKWK #siapague)

Kenapa keluarga kecil ini menjadi idolaku? Biar aku ceritakan...

Ibu dari Bunda Rafa sudah bolak-balik ke rumah yang mereka tempati sekarang ini sejak tahun lalu. Beberapa kali mengobrol dengan ibuku, beliau bercerita kalau rumah itu sengaja dibeli untuk anak perempuannya, Bunda Rafa, yang ternyata juga anak satu-satunya. Namun, anaknya ini belum yakin dan siap untuk pindah ke rumah itu karena ketakutan-ketakutan berlebih selalu menghantuinya sehingga masih ingin tinggal di rumah ibunya. Padahal, suaminya yaitu Ayah Rafa sudah sangat ingin belajar mandiri dan menikmati kehangatan keluarga kecilnya di rumah sendiri.

Sampai akhirnya, rumah itu ditempati juga oleh keluarganya Rafa! Kami, aku dan Ibu, sangat senang karena di depan rumah kami bisa berpenghuni dan ada kehidupan nyata. Jadi, nggak sepi-sepi amat, kan! Aku dan Ibu selalu menjadi pengamat yang ulung sehingga begitu pula pada tetangga baru kami. Bukan nyinyir lho ya, kami hanya senang mengamati dan merefleksikan apa yang kami lihat di orang lain pada diri kami sendiri. Sering kali, kita ditegur secara halus oleh Yang Mahabenar melalui apa yang terjadi di sekitar kita, bukan?

Setiap pagi, selalu terdengar Raya merengek, terutama menjelang kepergian kakaknya ke sekolah dan ayahnya ke kantor. Namun, sama sekali tidak menjengkelkan, malah hangat dan menggemaskan! Cara si kecil mengucapkan kata "Ayah", berikut nada-nada bicaranya, bikin hatiku meleleh. Ayahnya pun begitu! Sambil melemparkan kiss bye ke anaknya, beliau pergi sambil memakan lontong atau risol yang dibeli dari Pakde, penjual jajan pasar yang berkeliling perumahan setiap pagi, dengan motornya yang tidak baru.

Kalau aku sedang di luar rumah, biasanya suka ada suara-suara kecil dari balik jendela rumahnya dan berkata, "Halo... halo...". Saya tahu itu Raya karena matanya yang mengintip tidak bisa disembunyikan, kalau sudah ketahuan begitu, biasanya dia akan lari-lari kecil ke entah bagian rumahnya yang mana sambil tertawa. Kedua anak dari keluarga kecil di depan rumahku ini selalu main sepeda setiap sore, rajin menyuci motor bersama ayahnya kalau akhir pekan, dan selalu membawa oleh-oleh kecil seperti makanan setelah menjemput Rafa pulang sekolah bersama ibunya.

Ada satu hal yang bikin aku salut dengan keluarganya Rafa. Saat pertama kali mendengar cerita tentang mereka dari Ibu, aku langsung berasumsi, "Oh... pasti kebutuhan rumah tangganya bakal dipenuhi/ disediakan sama orang tuanya.", pikirku. Aku tahu, pikiran yang begitu tidak adil! Semoga Tuhan memaafkanku untuk itu, tapi maksudku tidak menyudutkan lho karena aku yakin, naluri orang tua di seluruh dunia pasti begitu bila memang mampu. Orang tua, apapun akan dilakukan untuk anaknya, bukan?

Kebiasaan yang aku lihat di perumahanku, keluarga baru seperti keluarganya Rafa ini, memang sering kali masih dibantu keperluan rumah tangganya oleh orang tua salah satu pihak maupun keduanya. Mulai dari rumah, perabot baru penghias rumah, sampai kendaraan seperti mobil atau motor sebagai hadiah perjalanan baru mengarungi bahtera rumah tangga. Namun, berbeda dengan apa yang aku lihat pada tetangga baruku. Perabot di rumahnya masih sedikit, tidak ada mobil, renovasi yang dilakukan pun tidak mengubah banyak bentuk rumah aslinya.

Dari kaca mata tetangga depan rumahnya, terlihat kalau keduanya berbagi peran yang adil. Bukan hanya perempuan yang membersihkan rumah, Ayah Rafa juga bisa menyapu teras dan membersihkan kulkas. Bukan hanya laki-laki yang mengerjakan hal-hal teknis, Bunda Rafa juga bisa memasang bendera semarak kemerdekaan menjelang 17 Agustus nanti, meskipun sedang hamil enam bulan. Tidak ada asisten rumah tangga, semuanya dikerjakan sendiri dengan koordinasi yang baik.

Bunda Rafa selalu masak setiap hari, meskipun menjadi pelanggan Ibu juga di waktu-waktu tertentu saat menu masakannya cocok. Setiap Ayah Rafa berangkat kerja, semuanya ke depan dan mengucapkan "Dadaaah" dengan wajah sumringah berharap waktu pulang cepat datang agar sesederhana, "Nanti makan malam kan sama Ayah ya, Bunda?". Lalu sang ibu menjawab, "Iya..." sambil bernyanyi dan dalam beberapa waktu terdengar Raya diajarkan membaca kitab.

Keluarganya Rafa adalah keluarga biasa yang tidak seperti biasanya. Kesederhanaan dari masing-masing anggota membuatku kagum. Wujud cinta dan kasih dari satu sama lain terpancar jelas sampai ke rumahku, atau mungkin ke rumah orang-orang lain, membuat sepanjang jalan depan rumah menjadi lebih hangat dan hidup. Pernah suatu kali terdengar, "Aku mau ke rumah nenek aja, Ayah. Aku maunya tinggal di sana." dan jawabannya adalah, "Kita kan bisa ke rumah nenek kapan saja, bisa nginep juga, tapi masa mau tinggal nggak sama Ayah, Bunda, dan kakak?". Sepolos Raya manggut-manggut sambil bilang, "Oh, iya! Aku maunya tinggal di sini." Sesenang itu aku mendengarnya.

Mungkin waktu lalu, sepasang suami-istri belum siap karena termakan pikiran sendiri, tapi saat sudah dijalankan, tidak ada yang lebih indah daripada "membuat" rumahmu sendiri. Tetangga baruku berhasil memenangkan musuh terbesarnya dan siap untuk anggota barunya, yang semoga perempuan, menghadapi tangisan dan tawa yang biasa saja, tapi sering kali bernilai lebih karena dilewati bersama-sama, bukan sendirian. Saat kita mempunyai teman berbagi hidup, bukankah menyejukkan?

Keluarganya Rafa, semoga selalu sehat dan hangat!

Friday, August 3, 2018

Selfish

You would never know how selfish you are until you awaken, by things or by beings.

You say that you can do everything by yourself, you never troublesome anyone in your life, but do you know that there might be someone out there that need you to be around? Or as simple as that the wildflowers in front of your place that need to be watered? When you say that you're so independent, so self-reliant, and everything that is self-centered, really? How can you think so?

Sometimes, I'm selfish, very selfish. Some other times, I don't even care a pinch about me. Well, I believe that in every cosmos, there will be chaos, and so on because the earth is indeed spinning. Besides, I don't like the idea of being selfish and I don't want to be around with someone selfish, even tho as I said, I am.

I joined a creative writing workshop with Ayu Utami today. She said that if we want to make fiction about ourselves, we should know how to position ourselves and how to keep distance between us and the character. People tend to show only the good side of themselves, while the bad ones are always to be kept. And I think that's how we tend to behave in life too, right? Or no?

Is it what makes us really human? That we will always be questioning everything? And if there's no answer for our question, isn't it an answer itself?

Friday, July 27, 2018

I'm Loving Myself

I was very cold-hearted, even when the life-changing problem happened about 8 or 9 years ago, I shed no tears at all. Or when my head got in the latrine pit, I was 4, all I thought was kinda fun because I could make bubbles inside. I always thought that a person should always be tough and strong, there was no room for sadness until I couldn't feel any feeling. If I think about it again this time, I'm wondering how can I be the person I was before and after now?

...life's changing in a glimpse. I am now more sensitive and I don't know if it's a good thing or not, I just feel relieved. I used to feel nothing at all, but now I am more human, I guess? I realized that being vulnerable is one of the ways for us to be human, so why should I worry about being one? I wise up about feelings after I entered college I suppose, that human supposes to feel feelings, any kind of it. Happiness, sadness. You can always be mad, or surprised, or disappointed.

I come up to this because in the midst of my conversation with Ebo,

"Dulu kamu nggak pernah nangis, sekarang kok bisa?"
"Aku tumbuh dan aku mencintai diriku dengan menghargai perasaanku."

Monday, July 16, 2018

A-Z Skripsi

Selamat masih bertahan hidup sampai hari ini!

Nilai A pada mata kuliah Statistika bukanlah kemampuan, tetapi kebetulan. Sejak kecil, saya memang tidak pernah bersahabat dengan angka. Melihatnya saja membuat kepala saya pusing tujuh keliling, bahkan 1+1 sekalipun. Maka dari itu, penelitian kuantitatif tidak pernah terpikirkan dalam benak saya. Kualitatif akan selalu menjadi pilihan, bagaimana pun caranya, pikir saya pada waktu lalu.

Namun, manusia memang hanya bisa berencana, Tuhan yang akan selalu berkehendak. Dua bulan saya kekeh untuk mengambil metode kualitatif, pokoknya ingin sekali. Pengajuan ke perusahaan sana-sini, cari kenalan yang kiranya bisa bantu, debat sama dosen pembimbing. Nihil. Akhirnya saya sampai pada keputusan, mungkin memang bukan jalannya untuk bertemu orang baru, pergi wawancara ke sana ke mari.

Metode kuantitatif tidak pernah ada dalam bayangan saya sehingga saat saya mengambil keputusan tersebut, saya hampir putus asa karena di awal saya dengan bodohnya meyakini diri bahwa saya nggak akan bisa. "Apapun yang berhubungan dengan angka kan selalu berujung nestapa, otak bisa korsleting nih!", pikir saya waktu itu. Dengan kekuatan entah dari mana dan segenap hati yang berusaha teguh, akhirnya saya ajukan latar belakang masalah penelitian saya kepada dosen pembimbing.

Selama proses pengerjaan skripsi, hal-hal tidak berjalan mudah. Mungkin, ada saja orang yang bilang topik yang saya ambil itu gampang, enak ya kalau anak PR bisa mengambil topik yang nggak rumit, kayak gitu saja masa sudah pusing, dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya. People will always judge, anyways. I just wanna let myself knew at that time that everyone has their own limit and we truly don't know what it feels like to be anyone else. Belum lagi sahabat-sahabat saya sejak SMP sudah ada yang wisuda dan sidang duluan, but then again, everyone has their own right time.

Penyebaran kuesioner sebagai teknik pengumpulan data menjadi salah satu rintangan yang agaknya bikin panik. Sampel saya adalah pengikut akun Instagram suatu merek kosmetik lokal sehingga cara saya melakukan pendekatan yaitu melalui Direct Message (DM). Seen, but not replied. Dibalas akan bantu, tapi tidak ada hasil form submission yang saya terima. Atau sesederhana, tidak dibalas sama sekali. Belum lagi limit DM yang bisa dikirimkan per harinya dari Instagram karena terlalu banyak mengirim pesan kepada orang asing. Beruntungnya saya dibantu oleh semua teman-teman hebat untuk menyebarkannya di Instagram, they helped me a lot.

Terlebih saat saya memulai bab hasil penelitian dan pembahasan, saya butuh mengolah data saya dengan aplikasi SPSS dan menginterpretasikannya. Memang mudah ternyata mengoperasikan aplikasi tersebut, tapi tetap saja saya nggak akan bisa mengerjakannya tanpa bantuan (yang banyak) dari Okky dan Gaby. Kedua perempuan yang mengajarkan saya seperti seorang ibu, sabar dan ikhlas menghadapi seorang saya yang nggak mudeng-mudeng dan nanya terus. Kami punya pojok rahasia di suatu pusat perbelanjaan. Sepi, ada WiFi, ada stopkontak, lagu yang diputar enak didengar (banyak lagu jadul), pokoknya tempatnya tepat.


Kiri-kanan: Okky, Gaby.

Teruntuk Okky, terima kasih sudah berprasangka baik saat pertama kali melihat namaku untuk menjadi teman seperbimbinganmu. Walau ternyata aku tidak seperti yang kau bayangkan selama ini, aku bersyukur kamu selalu menerima dan menjadi teman yang sangat baik selama proses pengerjaan skripsiku. Siapa yang sangka, teman sekelompok ke CNN beberapa semester lalu dipertemukan kembali dengan situasi yang lebih baik. Maaf aku sering kali gila karena terlalu banyak makan gula, sering tertawa karena sedih, pernah menangis karena lupa tertawa, ah sudahlah. Aku sayang.

Teruntuk Gaby, terima kasih sudah membantu teman lintas jurusanmu yang bandel ini. Entah harus berlega hati seperti apa lagi karena bisa dibantu dan ditemani Gaby tanpa jenuh sedikit pun. Gaby yang selalu menjawab pertanyaanku yang kadang berulang dan tidak penting, aku harap kamu selalu jadi pribadi yang punya energi moncer abadi dan memaafkanku. Otakku memang sering sekali miring karena melihat angka-angka yang begitu banyak di layar laptop saat bersamamu, tapi memilih bertahan denganku adalah pencapaianmu yang begitu tulus. Aku kasih.

Dan ternyata mengumpulkan berkas skripsi seperti buang angin, melegakan sekaligus mengkhawatirkan. Melegakan karena beban berkurang, mengkhawatirkan karena menunggu sidang datang. Saya senang karena bisa mengumpulkan tepat waktu walaupun  memeleset dari target saya di awal penelitian. Hadiah kecil saya berikan untuk diri saya sendiri, dua cone es krim dan semangkuk udon. Oh, dan sa su nonton Kulari ke Pantai sampai tiga kali e! No pura-pura, the movie is so bagus! Hahaha!

Skripsi merupakan titik balik yang mencengangkan. Proses untuk refleksi diri, bertemu banyak hal yang tidak diketahui sebelumnya, penyembuhan untuk hati yang kadang belum sepenuh dirinya sendiri, juga segala bentuk kontemplasi.

Sedikit penggalan dari kata pengantar dalam skripsi saya,

"Manusia mempunyai kekuatan penuh atas diri sendiri untuk menarik segala hal yang ingin direalisasikan, maka jangan jadikan batas sebagai hambatan. Mengakui kekurangan, memanfaatkan kelebihan, dan mau belajar untuk menjadi lebih baik lagi merupakan cara sederhana yang dapat ditempuh. Selama proses penyusunan skripsi, peneliti belajar untuk menuntaskan apa yang dikerjakan dengan niat dan selalu menggunakan hati."

Doakan sidang saya lancar, ya! :)