Monday, August 5, 2019

Runutan

Aku tak mengerti, apakah semua orang perlahan sadar bersama-sama, atau memang lingkaranku saja?

Ember penuh cucian yang belum tersentuh itu menimbulkan bau apak, kira-kira sudah empat hari dibiarkan begitu saja. Si empunya saat ini sedang duduk di lantai putih dengan corak hitam yang ternyata adalah debu yang menumpuk. Ia bersandar pada tembok polos, tapi pahit, sebagai saksi apa-apa yang terjadi dalam bangunan yang ia tinggali, bukan rumah.

Melirik ke sebelah kanan, di sanalah cucian itu berada. Berjalan sedikit melewati pintu di sebelah kiri, ada ruang tengah berisikan meja makan dengan dua kursi, juga televisi tua yang sudah tak berfungsi. Berbeda dengan keadaan di belakang, di dalam justru bersih, hanya segelintir debu. Setiap ruangan; mulai dari kamar tidur, kamar mandi, sampai gudang, semua terisi perabot secukupnya dan rapi. Oh, tapi masih saja terasa kosong.

"Nang ning nung, ning nung ning nang ning nung.."

Nyanyikanlah jiwamu sekeras-kerasnya, senantiasa tak akan ada yang bisa mendengar, kecuali dirimu sendiri, sebaik-baiknya penolong.

Pikirannya mengembara ke entah berantah, mungkin kolam renang berubin biru yang memanggilnya 21 tahun lalu, atau ruang tamu yang memercik penyesalan setahun setelah kelahirannya. Ia beranjak dari duduknya, menghampiri cucian dalam ember yang berwarna hijau pudar itu, dan memencet hidungnya seraya bernapas melalui mulut.

Ada dua kutang dan tujuh celana dalam, selama empat hari ia tidak berganti baju, hanya pakaian dalamnya saja. Ia baru sadar kalau masih mengenakan daster batik kuning yang sudah bolong di bagian paha kanan sejak hari Kamis lalu. Dibukalah daster itu pelan-pelan dari tubuhnya dan memasukkannya ke dalam ember yang sama.

"Asin, asin, aku maunya wangi!"

Berapa pun sabun pencuci pakaian yang ia tuang ke dalam ember, tiada wangi yang tercium meski dalam jarak satu senti. Ia tuang terus sampai hampir habis, pula bulir-bulir air yang berasal dari mata sayunya turun deras menghujani siapa pun, apa pun, yang berada di bawahnya, termasuk cucian yang apak itu.

Tiga semut yang berjalan beriring menuju markasnya lari terbirit-birit, tak mau tertular, cadangan air mata semur-semut itu sudah habis. Kemarin, mereka baru kehilangan serpihan roti yang sudah dijaga betul-betul. Ah, yang tiba-tiba, kadang menyenangkan, kadang menyesakkan.

Dari sekian banyak cerita di hidupmu, benarkah tidak ada yang benar-benar selesai?