Monday, March 12, 2018

Aku, Hidup, dan Alam Semesta

Bulan lalu, aku menjadi relawan harian untuk Kebun Kumara, sebuah permaculture farm di pinggiran kota. Selain itu, aku juga mendaftar menjadi salah satu fasilitator bila mereka mengadakan workshop berkebun untuk anak TK sampai SMA. Aku mengikuti pelatihan selama dua hari untuk belajar menjadi seorang tukang kebun atau petani urban dan sangat bersyukur atas hal ini. Bisa dibilang bahwa pengalaman yang aku dapat selama menjadi relawan maupun saat pelatihan menjadi fasilitator di kebun tersebut adalah salah satu yang paling berharga dalam hidup.


Aku nekat dan coba memberanikan diri untuk ikut kegiatan yang belum pernah dicoba sebelumnya ini. Mungkin pengalaman menjadi mentor di kegiatan mentoring kampus tahun 2015 lalu bisa menjadi bekal, walau memang sangat berbeda dengan keadaan di lapangan saat berkebun. Untung saja aku mendapat banyak teman baru yang juga membuka cakrawala pikiranku menjadi lebih luas, ternyata dunia bukan sebatas yang ada di dalam kepalaku saja.

Jujur, pengalaman berkebunku masih nol, sangat dasar. Di rumah, aku hanya menanam tanaman hias dan bunga yang dibeli saat sudah jadi (bukan dari bibit/benih), tinggal dipindah ke dalam pot yang lebih sesuai saja. Beri media tanam yang lengkap, seperti campuran tanah, sekam, dan pupuk kandang, lalu disiram sekali atau dua kali sehari.

Hal ter-"sulit" yang aku lakukan saat berkebun di rumah hanya menanam bunga telang dari bijinya dan kebetulan tumbuh subur sekali. Sampai sekarang, setiap hari bunga telangku berbunga 10-12 bunga. Kemudian aku jemur supaya kering dan dapat diseduh untuk dijadikan teh, rasanya segar apalagi dengan tambahan lemon dan madu. Dimakan langsung atau dijadikan salad pun enak. Tidak lupa, khasiatnya yang bagus untuk mata dan detoksifikasi.

Atau saat menanam kacang hijau di kapas dan tumbuh menjadi kecambah saat sekolah dasar dulu? Ah, itu sih pelajaran yang tanggung-tanggung, menurutku. Mungkin memang tujuannya ingin memperlihatkan proses tanaman tumbuh dan fotosintesis yang menyebabkannya mengarah ke cahaya atau matahari, tetapi apakah waktu itu kita juga diajarkan bagaimana kelanjutan yang tepat untuk menjaga atau memeliharanya? Seharusnya, pelajaran yang terlihat kecil seperti itu bisa menjadi sesuatu yang lebih besar.

Aku yakin, masa anak-anak adalah momen yang sangat berarti karena anak-anak mempunyai daya ingat yang panjang. Sejauh ini, memoriku di masa anak-anak masih tersimpan apik, bahkan tanpa kurapikan. Bisa saja saat pelajaran pengetahuan alam, bukan sekadar untuk menumbuhkan kecambah, tetapi filosofi hidup dengan menganalogikan tumbuhan yang mandiri karena bisa menghasilkan makanannya sendiri. Atau tumbuhan yang selalu memberi pengalaman pada kita tentang menjadi sadar dan peka.

Menghabiskan tiga hari di kebun membuatku banyak merenung. Di perjalanan pulang atau saat menunggu kereta, yang kulakukan di kebun mengajakku berpikir tentang semuanya. Tentang udara yang rasanya sering aku sia-siakan karena menamatkan hari dengan menunda, ulat yang sering kumarahi padahal ia hanya mampir dan menumpang makan di daun-daun tanamanku, atau tentang aku, yang mungkin belum begitu mesra saat pacaran sama Tuhan.

Betapa menyenangkannya membumi a.k.a earthing, menginjak tanah tanpa alas kaki sering-sering itu ternyata enak. Apalagi sambil memijat tanah pas menyemai benih, rasa adem di tangan akan menyeluruh ke semua bagian tubuh. Bermain dengan tanah mengingatkanku bahwa kita akan kembali ke tanah. Aku terlalu banyak lupa dan senang bisa diingatkan oleh semesta, daripada pura-pura tidak peduli dan memilih begitu selamanya.


Aku juga kagum dengan cara kerja hutan yang begitu menakjubkan. Tanpa ada campur tangan manusia pun, hutan bisa terus berkelanjutan. Tanpa pupuk, hutan bisa membuat humus sendiri. Tanpa pemimpin, hutan bisa mengatur ekosistem sendiri. Tanpa manusia, sebenarnya hutan bisa membangun kehidupan. Alangkah sedih kalau melihat manusia datang ke hutan dan malah merusaknya, nggak malu? Seharusnya kita bisa lebih tahu diri. Cara Kebun Kumara meniru kerja hutan adalah salah satu yang aku suka.

Alam mengajarkan untuk selalu ikhlas tanpa pamrih, seperti dirinya yang begitu baik dan tidak pernah menagih balas budi dari makhluk yang keseringan egois seperti aku. Belajarlah dari mikroorganisme, si kecil yang membuat tanah menjadi hidup dan menumbuhkan satu-satunya makhluk yang bisa berdiri sendiri. Belajarlah dari pohon teduh yang pada tubuhnya menempel lumut, lihat bagian mana yang paling banyak dan kamu bisa menerka itulah arah Barat untuk bertemu Dia.

Kita tidak pernah meminta pun semesta akan selalu memberi, tetapi sering kali kita serakah dan malah tidak pernah mengucap terima kasih. Bukan cermin yang bisa membuat kita berkaca, genangan air hujan di jalanan, atau bahkan orang yang kamu cinta. Berkacalah pada sekitarmu, apa yang telah kita berikan? Aku yakin semesta akan membantu merefleksikan jati diri kita. Aku cuma takut kerakusan akan memakan siapa saja yang lupa tentang dirinya sendiri.

Untuk kamu yang membaca, sudah pernah atau belum pernah berkebun, cobalah. Nggak pernah ada kata terlambat, apalagi untuk berinteraksi dengan alam. Aku yang awalnya geli dengan cacing pun bisa lunak dan bersyukur akan keberadaannya. Apalagi kehadiran pasangan Kak Sandra dan Mas Dhira, Mas Mun, juga Prof Yono di Kebun Kumara bakal bikin kamu hangat dan betah berlama-lama.

Sudah saatnya untuk kita sering-sering menatap semesta tepat di matanya karena hanya ada dua kemungkinan tentang orang yang nggak bisa melakukannya, entah ia mencoba menyembunyikan dusta atau ia sedang menyembunyikan cinta. Aku rasa kalau yang kedua,  tidak perlu malu lagi, tunjukkan.

"You will never be happy if you continue to search for what happiness consists of. You will never live if you are looking for the meaning of life." - Albert Camus

Ternyata menjadi bahagia tidak perlu terlalu jauh mencari dan untuk menjadi hidup tidak perlu terlalu banyak menuntut, yang perlu dilakukan adalah untuk memulai dan merasa.  Biarkan reaksi alami dan jangan disembunyikan, kita sehat dan bebas untuk itu. Indahnya berserah, tetapi tetap terarah.

Aku teringat salah satu kalimat sederhana dari, Sekar, adik kelasku saat SMP dulu, ia tuliskan di akun media sosialnya, "Di banyak waktu aku terlalu keras sama diriku, pembunuh bukan orang creepy tapi pikiran sendiri, tapi setiap hari Tuhan bicara terus jadi kita gausah panik."

Semoga manusia selalu diberkahi dengan kebaikan alam semesta. Selamat menjadi lebih semangat!

Tuesday, March 6, 2018

Skripsi, Please be My Cup of Tea

Hello!

March began with the announcement of the advisor a.k.a dosen pembimbing (dospem for short) for my thesis. My advisor is a she and hopefully she's the right one for me because I haven't got a chance lectured by her before. She seems great tho. Let's just pray and do the best.


My concern now is the topic of my research. Not just that, also the object of it. It's a mixed feeling when I already emailed some of the companies that I interested in, but I got no reply from one of them until today. Maybe a direct approach to their office is a good idea. Of course, after I meet my advisor this week to know if there's any revision of the proposal or not.

Doing thesis while having a job is kind of exciting, but a little bit overwhelming at the same time. Although, my spirit blood in pursuing my dream is in a rush right now, so it's not a problem for me. Let's just keep it on track so that I'm not becoming a workaholic because it's always been something that I don't wanna be.

Slow life, I'll see you later in months. Toodles!