Wednesday, November 21, 2018

Ada Apa #14 | Wisuda

Wisuda,
perayaan atau perpisahan?

"W sedi u gag ikut wisuda...:(
W bilang ae geninkkk.
U kan padahal harusnya duduk samping w tau nink kan sesuai nim HIKS."

Terlepas dari cara penulisannya yang alay, pesan yang masuk di WhatsApp saya kemarin malam bikin termenung. Datang dari seorang teman yang jadi saksi tentang seorang yang saya anggap aku, selama perkuliahan kurang lebih empat tahun, di suatu kampus yang gedungnya seperti telur dinosaurus.

Setiap ada percakapan mengenai wisuda, saya selalu bilang bahwa saya enggak akan ikut wisuda. Banyak hal yang jadi pertimbangan dan saya yakin saya enggak bakal kenapa-kenapa juga kalau enggak ikut, jadi enggak ada salahnya untuk tidak menjadi bagian dari perhelatan yang selalu ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa itu. Paling penting adalah saya lulus yudisium, itu kan yang diperlukan untuk keluarnya ijazah?

Saya enggak ingin wisuda, selayaknya saya enggak ingin resepsi. Menurut saya, keduanya hanyalah perayaan. Inti yang harus saya selam adalah yudisium dan akad, itu saja. Makanya, saya pikir saya akan baik-baik saja. Terlebih, pasti akan sulit untuk datang ke wisuda bila harus ada yang dikorbankan, hati yang patah, masalah yang belum selesai, saya enggak siap untuk menghadapinya. Namun, lagi-lagi, saya lupa untuk memulai percakapan dengan diri saya sendiri.

Hari ini saya memikirkan terus, apakah saya enggak sedih? Nanti saya enggak akan ada di dalam ruangan, enggak akan ada di foto angkatan, enggak akan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa teman-teman seperjuangan sudah bisa membanggakan orang-orang tersayang dan diri mereka sendiri, di dalam ruangan perayaan, atau perpisahan, yang disebut wisuda. Ini momen yang memang seharusnya dirayakan, kata beberapa teman.

Kurang dari dua minggu, wisuda akan tiba. Saya bahkan masih belum yakin, apakah datang ke sana adalah keputusan yang tepat? Suatu keberanian atau malah pemicu rendah diri? Bukan karena saya enggak wisuda, tapi karena kalau saya ikut wisuda pun, saya enggak bisa seperti orang-orang biasanya, datang penuh senyum dan bergandeng tangan dengan kesayangan.

Ternyata saya sedih dan saya bingung sendiri, kenapa harus mengakui di detik-detik terakhir? Saya merasa enggak enak banget sama orang tua, terutama Ibu, yang saya tahu selalu ada dari dulu, kini, sampai nanti. Ibu cukup sering membahas hal ini, saya tahu ia sangat ingin melihat anaknya wisuda. Pakai baju bagus, berfoto, melihat anaknya maju ke atas panggung dan bersalaman dengan rektor, menyaksi senyum atau tangis karena bahagia. Sampai terlontar bahwa ia ikhlas atas apapun keputusan yang saya ambil, wisuda atau tidak, bukan masalah asalkan itu yang saya yakin terbaik.

Sekarang kerongkongan saya tercekat, apakah saya terlalu memikirkan diri sendiri? Ini egois atau bentuk self-love yang sedang ramai disampaikan orang? Semoga keputusan ini matang karena proses memasaknya yang membutuhkan waktu lama. Saya juga enggak bisa membayangkan kalau saya memilih untuk wisuda, datang sendirian, entah serapah apa yang akan saya terima dari orang-orang yang saya buat patah hati.

Yang saya tahu, daripada harus membuat lebih banyak orang patah hatinya, biar saya sendiri saja yang merasakannya.

No comments:

Post a Comment