Wednesday, February 15, 2017

Ada Apa #1 | Cerita

Sore tadi saya teringat bahwa saya pernah bertemu Sukab, lakon yang paling melekat di ingatan dari cerpen-cerpen karya Seno Gumira Ajidarma.

Saya bertemu dengannya di kereta arah Tanah Abang, saat itu saya baru saja menyambangi perpustakaan suatu universitas negeri di Depok. Sukab yang saya temui terlihat gelisah, raut wajahnya menunjukkan ada kejanggalan yang kiranya melanda. Ia berdiri di depan pintu kereta rel listrik, memandang ke arah jalan. Sesekali Sukab melihat layar ponsel dan orang di sebelahnya. Rambutnya klimis, tetapi saya rasa bukan karena gel atau disengaja seperti itu, melainkan karena keringat yang bersarang dan membuat setiap helainya lepek. 

Sukab menenteng tas kerja hitam di tangan kirinya. Warnanya sudah sedikit memudar, dengan kulit tas yang mengelupas di ujung-ujungnya. Kemeja putihnya lusuh, dipasangkan dengan celana kain hitam yang terlihat agak kebesaran. Mata Sukab sendu, bibirnya tampak menggumamkan sesuatu, tetapi bukan perihal mengingat Tuhan. 

"Ka, lihat, itu Sukab."

"Sukab? Siapa?" kata seorang teman, heran.

"Sukab, yang di cerpennya Seno, ia hidup."

Sampai akhirnya Sukab turun di Stasiun Sudirman, lamat-lamat tubuh ringkihnya ditelan kerumunan.

Saya senang karena tokoh yang biasanya hanya ada di imajinasi berhadapan langsung dengan saya, nyata. Segala lelah setelah mencari referensi buku dan jurnal untuk sebuah penelitian sekejap hilang. Saya bertemu Sukab.

Bukan, post ini bukan tentang Sukab. 

Bertemu dengan orang asing selalu membuat saya menerka-nerka, seperti apa ya kisah hidupnya? Mengapa wajahnya masam? Lapar? Atau resah? Siapa yang membuatnya tersenyum hari itu? Seseorang yang menjadi wallpaper ponselnya, kah? Atau mungkin, angin sejuk yang tiba-tiba datang saat matahari berkaca.



Saya suka mencermati, orang-orang yang lewat, yang sedang bercengkerama di sudut restoran. Dari ujung kaki sampai ujung kepala, bahkan brand dari sepatunya. Tenang, saya tidak menilai orang dari apa yang ia pakai, kok. 

Saya mencoba "mengenal" mereka, dari apa yang terlihat oleh mata dan terlintas di udara. Somehow, dengan memerhatikan orang-orang yang nggak dikenal, membuat saya jadi lebih bersyukur juga. Apa yang kita punya, belum tentu mereka punya. Begitu sebaliknya. Dengan "mengenal" mereka, saya belajar pula untuk mengirimkan doa agar mereka menjalani hari yang baik. Kita nggak pernah tau, apa yang sedang dihadapi mereka, bukan? 

Tak jarang saya langsung meluapkan cerita saya dengan orang yang berada di dekat saya. Ada yang menyambut antusias, ada yang tersenyum dalam diam, ada pula yang tidak menghiraukan dan memilih pacaran dengan ponselnya.

Beberapa teman bilang,

"Nulis cerita mah di kertas aja, atau nanti kalau ketemu laptop."

Menurut saya, hasrat bercerita nggak melulu harus dicurahkan dengan media kertas atau laptop. Hal tersebut membuat kita menunggu, dan cerita tidak harus menunggu. Di mana pun dan kapan pun, kita bisa bercerita, atau membuat cerita. Walaupun hanya di pikiran dan hati kita sendiri, buat saya tidak masalah. 

Saya disadarkan bahwa rasa senang atau kebahagiaan, tidak melulu ada karena sesuatu yang besar. Dan bercerita menjadi salah satu kebahagiaan saya.

Bahagialah karena kita sadar, untuk selalu membuka mata terhadap hal-hal kecil di sekitar kita.

Apa ceritamu hari ini?

No comments:

Post a Comment