Wednesday, November 13, 2019

Sarapan Bersama Ibu: Es Buntin dan Warung Tuman (Dari Pasar Lama ke BSD)

Salam!

Sudah lama absen, ya? Sebenarnya sih ada banyak sekali sesi sarapan bersama Ibu, tetapi saya yang malas untuk mendokumentasikan dan menuliskannya di sini. Entah kenapa, beberapa waktu terakhir, saya malas sekali melakukan hal-hal yang biasanya saya suka. Namun, itu juga karena saya lebih menikmati momen tanpa terdistraksi untuk menghafal detail menu yang saya makan atau mengambil foto untuk dibagikan. Kadang, mengingat momen hangat yang dilalui bersama itu lebih asyik, lho.

Nah, kali ini muncul kembali minat itu, syukurlah, dan tentu akan saya tuangkan sebaik-baiknya. Mungkin post kali ini tidak terlalu memuat banyak tulisan. Saya akan cantumkan beberapa foto yang saya abadikan, sedikit deskripsi, dan sisanya silakan kamu kira-kira sendiri, bagaimana perasaan saya saat sedang berjalan bersama Ibu kemarin (12 November 2019).



Berawal dari Pasar Lama, kami menyusuri gang demi gang, bertukar senyum dan sapa dengan warga sekitar, juga menikmati rumah-rumah tua yang memikat. Tadinya Ibu minta ditemani untuk melakukan pergantian paspor, tetapi karena ada beberapa hal yang terjadi, Ibu harus menundanya ke minggu depan. Jadilah Ibu memilih untuk makan bubur ayam, tepat di depan gang ROEMBOER - Tangga Ronggeng, juga sebuah gemblong yang tidak begitu enak. Saya memilih combro saja.





Selama berjalan di gang-gang yang saya tidak hafal namanya, tanaman cantik mudah sekali kami temui, melati tumpuk, buah delima, kemuning, dollar, dan masih banyak lagi. Pula dengan harum gula merah yang semerbak, produk rumahan di sana. Sesampainya di Boen Tek Bio, ada Es Buntin yang tersohor itu. Maka kami pun mencobanya, es leci untuk saya dan es campur untuk Ibu. Dua-duanya dengan kental manis dan sirup pisang ambon, segar sekali. Buntin merupakan nama dari si pemilik, Ko Buntin. Walau tempatnya tidak terlalu bersih, tetapi boleh dicoba.




Kalau kata Ibu, berjalan di sekitar Pasar Lama seperti memasuki lorong waktu yang berbeda. "Ibu rasanya seperti ada di dunia lain," begitu katanya. Saya setuju dan malah mengidamkan untuk tinggal di tempat seperti ini, kalau memang harus menetap di kota. Suasananya sederhana, nyaman, dan hangat. Saya menemukan rumah mungil di sudut gang yang penuh dengan tanaman dan langsung jatuh hati. Saya bisa bayangkan saya tinggal di sana, mengganti warna pagarnya menjadi putih, dan duduk di teras depan untuk menyapa anak-anak yang pulang sekolah.



Kami menjelajahi area Pasar Lama dari pukul sembilan sampai setengah dua belas. Memang hanya dua setengah jam saja, tetapi kami berdua sama-sama belajar, untuk lebih pelan-pelan dalam hidup. Ada banyak hal kecil yang bisa dinikmati saat kita dapat mengurangi kecepatan langkah kita ini. Tidak pernah ada yang memburu, kita sedang tidak buru-buru. Betul, Ia mengingatkan kita dengan berbagai cara, yang tak diduga.

Setelah puas berjalan santai di Pasar Lama, kami mengarah ke daerah BSD, enggak apa ya sekalian sarapan + makan siang saya tuangkan ceritanya di sini. Kamu ke BSD untuk makan siang di Warung Tuman, yang keberadaannya saya ketahui dari akun Instagram Tangselian. Iya, akun yang dikelola oleh penulis favorit saya, Dewi Lestari.

Intinya, mengarahlah ke Granada Square sampai menemukan Indomaret yang di depannya ada jembatan berwarna kuning. Kalau membawa mobil dan enggak terlalu jago dengan tikungan tajam dan jalan kecil, lebih baik parkir di jalan raya dan jalan menuju ke dalamnya. Namun, kalau kamu memang lulus tes SIM dengan nilai A, mainkan. Untuk pengguna motor, kamu aman, langsung saja tancap gas sampai ke warungnya.




Jalan menuju ke Warung Tuman akan dihiasi dengan bambu, tanaman liar, ada pemancingan pun. Oh, juga lahan yang dibakar, sepertinya akan dibuat bangunan di situ. Warung Tuman menghidangkan makanan sederhana khas rumahan. Sebenarnya aku bingung sih, warung ini spesifikasi masakan daerah mana, karena di menu ada mangut pari asap, ada pula nila calabalatuik, tetapi juga dendeng batokok. Perpaduan Jawa, Sunda, dan Padang kali, ya.



Saat tiba di Warung Tuman, langsung datang saja ke dapurnya untuk memesan. Lalu, pilihlah tempat dudukmu. Banyak yang lesehan, tetapi ada juga kok yang meja biasa, semuanya terbuat dari bambu. Suasananya seperti di desa, biasa-biasa saja, tetapi itu yang malah bikin jadi luar biasa. Siapa sih yang enggak bosan sama kota? Pasti bosan, kan? Saat itu Warung Tuman ramai pengunjung, mulai dari keluarga, geng anak muda, ibu-ibu arisan, sampai kumpulan PNS. 





Kami memesan mangut pari asap, nila calabalatuik, gulai bareh, tumis bunga pepaya, dan telur dadar gaek. Nasi putih untuk Ibu dan nasi merah untuk saya. Menurut kami berdua, juaranya adalah telur dadar gaek + kuah kental gulai bareh. Kentalnya itu berasal dari beras, bukan santan, benar-benar nikmat, sedap. Apalagi makan ditemani segelas es teh tawar untuk melepas dahaga. Piring dan gelasnya pun dari enamel atau blirik seperti tempo dulu.




Kalau sudah kenyang, bisa langsung mencari Pak Eko untuk membayar, cash only lho, ya. Kadang Pak Eko ini suka ada di dapur, membersihkan meja, atau menyapu lantai. Namun, tenang, tinggal cari saja Bapak yang memegang dompet motif di tangannya, ialah sang kasir Warung Tuman. Oh ya, di atasnya Warung Tuman juga ada Kampung Mode, sebuah coworking space untuk kamu pegiat fashion. Selain itu, akan segera dibuat coffee shop pula. Lengkap, deh!



Setelah selesai makan siang di Warung Tuman, aku menemani Ibu ke pasar untuk membeli keperluan catering besok. Di sana, aku menemukan seorang Bapak yang tertidur di sudut parkiran, sebelah tempat listrik. Apa yang kamu pikirkan kalau berhadapan dengan orang-orang yang kurang beruntung daripada kita? Kalau saya, mulai deh, membuat cerita tentang kiranya siapa dia, seperti apa kisah hidupnya, dan tentu menjadi pengingat untuk bersyukur atas apa yang kita punya.


Ya sudah, segini dulu ya ceritanya. Kapan-kapan, kalau saya ada minat menulis lagi, kita ketemu (di blog), ya! Semoga hari-harimu penuh arti dan bisa menebar kasih pada diri sendiri, juga makhluk lain.

Tabik!

No comments:

Post a Comment