Saturday, March 2, 2019

Secercah Kedoya: Sakit, tapi Gengsi

Hari Rabu lalu saya memutuskan pergi ke kantor tanpa tongkat, agak sombong awalnya, saya yakin bisa dan mampu. Semua berjalan seperti biasa, perjalanan Go-Jek, naik bus, jalan menuju kantor. Tentu masih pincang, kadang rasa sakit muncul tiba-tiba, ngilu di dalam yang rasanya seperti luka belum sembuh.

Sampai menuju malam, kaki saya cenat-cenut dan bengkak sekali. Apalagi setelah berdiri hampir sejam menunggu bus untuk pulang datang, terlebih di dalam bus pun harus berdiri. Semua orang lelah, semua orang ingin duduk. Lagi-lagi saya sombong dan yakin kalau saya bisa kok menumpu beban di kaki kanan saja.

Macet di jalan tol itu pasti, tapi dengan kondisi kaki yang seperti ini, ternyata rasanya jauh lebih sengsara. Dua tangan saya memegang tiang bus erat-erat, sedikit bergetar karena saya nggak tahan, tapi gengsi untuk minta tempat duduk.

Hari Kamis pun saya putuskan untuk kembali menggunakan tongkat. Di bus pun saya diberikan duduk, tapi ada dua bola mata yang sedari tadi menatap tajam, dari seorang perempuan. Saya ingat bahwa kami dalam bus yang sama kemarin malam. Asumsi saya, dia kilas balik ke kemarin malam bahwa saya mampu berdiri dan hari ini saya tiba dengan menggunakan tongkat.

Saya nggak tahu kenapa, tapi pikiran-pikiran buruk langsung menyergap karena tatapan itu tak henti. Seakan menghakimi, itu yang saya rasa. Padahal dengan mengutarakan hal ini, saya pun balik menghakimi perempuan itu, kan? Ah, hal-hal seperti ini, kecil, tapi mengusik.

Saya hanya ingin cepat berlari lagi, melangkah lebih percaya diri lagi. Namun, pelajaran kali ini terasa lama sekali. Menjadi pelan, santai, tidak tergesa-gesa, berapa SKS yang harus saya jalani? Saya adalah pelajar selamanya.

Namun, saya jadi berpikir berulang-ulang setelah pengalaman di atas, kiranya seperti ini:

Tiba-tiba saja, tanpa aba-aba.

Kalau kata Om Candra Darusman *akrab*, “Segala peristiwa yang pernah ada dalam kehidupan merupakan kehendak Tuhan yang Mahamulia. Betapa kuasa Dia dalam menentukan jalan nasib kita yang senantiasa di tangan-Nya.”

Oh, dan Sarah Anne Shockley menuliskan rasa sakit dengan begitu indah. Katanya, sakit adalah bentuk komunikasi alami dari tubuh yaitu aku berbicara dengan diriku sendiri. Ada bagian dariku yang sakit dan meminta perhatianku.

“Pain, then, has become something of a spiritual mentor over time. It has, in the end, taught me how to live more deeply, more authentically, and more wisely. Living with pain has not only helped me understand what really matters most to me in life, but how much I matter to myself.”

Aku rasa, sakit kali ini mengajarkanku bahwa pelan-pelan itu enggak apa-apa, demi hati yang lebih membumi.

No comments:

Post a Comment