"Jangan ragu-ragu
Hidup bukan tentang angka"
Lagu itu dirilis di awal tahun lalu, tetapi baris tersebut terngiang-ngiang kembali di kepala saya beberapa waktu belakangan ini.
Saya terbiasa sendiri dari kecil dan entah mengapa, saya rasa kesendirian membentuk pribadi sosok aku di dalam diri menjadi manusia yang kompetitif. Namun, apakah benar hidup ini adalah kompetisi? Kalau iya, dengan siapa? Kalau tidak, mengapa terasa melelahkan seperti maraton yang tak berujung?
Angka telah menjadi parameter yang hampir selalu menghantui saya seumur hidup, tetapi... jemu juga dengan angka. Tuntutan dari orang tua, orang-orang nyinyir, atau sesederhana diri saya yang kompetitif itu. Peringkat kelas, indeks prestasi, gaji, berat badan, tinggi badan; berapa? Lalu dari jawaban yang ada, apakah itu yang benar-benar saya cari? Rasio, sepenting itu, kah?
Pemikiran, "Aku belum cukup, belum seperti mereka." sering sekali mampir di kepala. Pun dengan membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain, apa yang belum dimiliki, atau sesederhana mengapa harus saya yang rasakan hidup seperti ini. Pasti orang kebanyakan akan bilang, "Ah, kamu kurang bersyukur!". Sungguh, bukan itu. Pertanyaan-pertanyaan itu bagai lautan yang tak habis oleh waktu, terus mengalir dan menggenang.
Namun, dua minggu lalu saya seperti "ditampar" sama Bos Besar, "Di atas langit masih ada langit.", begitu katanya.
Saya jatuh di toilet suatu pusat perbelanjaan di Jakarta ketika sedang singgah dengan dua orang teman. Tidak ada tanda-tanda apapun, lantai licin yang bisa menyebabkan terpeleset, atau tiang yang tidak terlihat. Tiba-tiba saja saya terjatuh, lutut kiri saya berbunyi "krek-krek" dan rasanya sakit sekali.
Di hari itu, dan selama dua minggu proses pemulihan, saya memang benar-benar merasa jatuh. Lutut ini vital dan saya baru sadar. Saya butuh kaki untuk ke mana-mana, tapi pernahkah saya berterima kasih pada anggota tubuh ini? Yang telah dengan sabar, tulus, menemani apapun aktivitas saya.
Saya jatuh di toilet suatu pusat perbelanjaan di Jakarta ketika sedang singgah dengan dua orang teman. Tidak ada tanda-tanda apapun, lantai licin yang bisa menyebabkan terpeleset, atau tiang yang tidak terlihat. Tiba-tiba saja saya terjatuh, lutut kiri saya berbunyi "krek-krek" dan rasanya sakit sekali.
Di hari itu, dan selama dua minggu proses pemulihan, saya memang benar-benar merasa jatuh. Lutut ini vital dan saya baru sadar. Saya butuh kaki untuk ke mana-mana, tapi pernahkah saya berterima kasih pada anggota tubuh ini? Yang telah dengan sabar, tulus, menemani apapun aktivitas saya.
Belum lagi, musibah berarti biaya tak terduga. Pengeluaran bocor, bahkan tabungan pun ikut terkuras habis. Saat diingatkan bahwa saya tidak pernah benar-benar memiliki, saat itulah saya tahu bahwa hidup ini bukanlah kompetisi. Misalnya pun iya, saya seharusnya berkompetisi dengan diri saya yang sebelumnya. Saya rasa bukan hanya bahagia yang bisa menjadi energi, kesedihan juga bisa, menjadi energi untuk kembali bangkit dan berjuang lagi.
Saya merasa enggak enak juga karena banyak merepotkan orang, kolega di kantor, dan terlebih ibu. Apa-apa minta bantuan, tidak bisa bergerak secepat biasanya, menghambat pekerjaan. Awalnya memang sedih, kenapa saya harus membuat susah orang lain, tapi mungkin, Tuhan sedang melatih saya untuk menjadi lebih rendah hati. Bahwa walau saya tidak mempunyai apa-apa dan sesungguhnya sendirian, saya tetap hidup bersama orang lain dan meminta bantuan pada mereka bukanlah hal yang aneh.
Kalau kata seorang dosen yang dekat dengan saya, "Jabatan, uang bisa dicari, tapi jiwa yang terluka sulit untuk dikembalikan." Biarlah hilang yang diharuskan hilang, lepaslah lepas, semua yang hanya mampir itu silih berganti, tapi jangan sampai apa yang selalu tertanam di dalam diri dibiarkan mati.
Terburu-buru atau pelan-pelan, sekarang atau nanti, semoga saya bisa selalu sadar dan menikmati hidup ini. Tanpa dibuat-buat, apa adanya, dengan hati yang membumi.
No comments:
Post a Comment