Halo, apa kabar?
Aku tergerak untuk mengikuti workshop tersebut sesederhana karena aku ingin sekali menjadi teman yang baik dan selalu ada untuk membantu teman-temanku. Namun, hal itu kusadari belum bisa terlaksana, tak lain karena aku sendiri membutuhkan bantuan dan aku harus menyembuhkan diriku sendiri terlebih dahulu sebelum aku membantu orang lain. Di samping itu, aku selalu yakin, niat baik tidak akan mengkhianati.
Acara diselenggarakan di Kolega Antasari dan dimulai pukul 10.00, tetapi aku sudah sampai di venue sekitar pukul 09.00. Begitulah, aku sering kali datang lebih awal bila ada janji atau datang ke suatu acara, walau tak menutup kemungkinan aku juga bisa telat karena suatu hal tak selalu berjalan sesuai apa yang direncanakan. Kak Dynna, Kak Gina, dan Kak Nadia menyambutku riang, mereka pun kaget dengan salah satu peserta workshop yang datang kepagian ini.
Seraya mereka, para penyelenggara, mempersiapkan acara, Kak Gina menghampiriku dan membuka percakapan. Pembawaannya begitu hangat dan tidak menghakimi. Obrolan kami mengalir dengan mulus dan menimbulkan perasaan tenang juga lega. Entah mengapa, aku mempercayainya, padahal itu kali pertama kami bertemu. Mungkin karena sebelum itu aku suka lupa bagaimana rasanya percaya, bahkan pada diriku sendiri.
Di sini, aku akan ceritakan apa saja yang aku dapat dari role play dan materi yang disampaikan ya. Selain itu, bisa juga melihat selengkapnya di highlight Instagram story-nya Kak Dynna bertajuk Primepoint.
Di sini, aku akan ceritakan apa saja yang aku dapat dari role play dan materi yang disampaikan ya. Selain itu, bisa juga melihat selengkapnya di highlight Instagram story-nya Kak Dynna bertajuk Primepoint.
Workshop dimulai dengan menuliskan harapan kita setelah mengikuti workshop sampai selesai dan apa yang kita ingin terima dari orang lain ketika kita sedang butuh didengar. Lalu, menempelkannya di sebuah papan tulis besar di depan para peserta. Selanjutnya peserta berkenalan dengan orang yang berada di belakang atau di depannya dan menceritakan ulang tentang orang yang baru dikenal itu di depan peserta lainnya. Bentuk latihan sederhana untuk mendengar dan menyimak dengan santai sebagai teman bercerita yang baik.
Tahukah kamu apa definisi teman yang sesungguhnya? Ada enam kategori yaitu ramah, dekat, antarorang, kasih sayang, rasa saling percaya, dan niat baik. Ketika semua kategori terpenuhi, itulah yang dinamakan teman. Kalau kata Kak Dynna, sesungguhnya memang nggak ada ya istilah teman makan teman. Dari sini saja aku sudah banyak berpikir tentang pertemanan yang aku jalani hmm. Apakah aku benar-benar memiliki teman atau sekadar kenalan?
Nah, terus apa dong manfaat hubungan sosial dari memiliki teman?
- Meningkatkan rasa saling memiliki dan ada tujuan
- Meningkatkan rasa saling memiliki dan ada tujuan
- Meningkatkan rasa bahagia dan mengurangi stres
- Meningkatkan kepercayaan diri dan rasa bahagia
- Membantu beradaptasi dengan trauma (kejadian yang di luar kemampuan untuk menghadapinya)
- Mendorong perubahan atau meninggalkan kebiasaan hidup tak sehat (menurunkan risiko masalah kesehatan)
- Membuat panjang umur
Begitu positif , kan ? Namun, aku akui bahwa tak semua orang yang kusangka sebagai teman memberikan beberapa manfaat tersebut atau bahkan aku yang tidak memberikan manfaat itu untuk mereka. Marak orang membicarakan toxic relationship, bisa jadi kita sedang mengalaminya walau tanpa menyadarinya ya. Aku sendiri sering (sekali) merasa bahwa aku bukanlah teman yang baik. Aku masih suka kelepasan untuk berpura-pura, bergantung pada mereka, menyinggung, dan bahkan menghakimi. Sadar atau tidak sadar, itu mengambil peran dalam kesedihan yang aku rasakan.
Aku mempertanyakan diriku sendiri, "Apakah kehadiranku penting?" Apalagi setelah aku mengutarakan rasa sedih, takut, dan bingung yang aku rasakan selama ini kepada orang-orang terdekat. Pasti akan muncul asumsi-asumsi tak berdasar yang tiba-tiba saja. Aku rasa, pemikiranku kadang kala memang lebih jahat dari pemikiran-pemikiran lain di dunia. Maka itu, aku selalu yakin kalau kita adalah penyembuh terbaik untuk diri kita sendiri karena kita memiliki kontrol penuh atas jiwa dan raga ini, sendiri ataupun dengan bantuan tentunya.
Bagaimana kita mengidentifikasi pertemanan? Mulai dari kerabat, kenalan, sejawat, teman main, teman dekat, sampai teman hidup. Semua itu bergantung pada keteraturan kita dalam berinteraksi dengan mereka melalui waktu, intensitas emosi, keintiman (kualitas keterbukaan), dan timbal balik. Hayooo, kira-kira pertemanan kalian bisa diidentifikasi sebagai apa? Kenalan saat nonton gigs di akhir pekan, sebatas sejawat kerja, teman main saat kuliah, atau bahkan sudah menjadi teman hidup?
Memupuk dan memelihara hubungan sosial itu perlu inisiatif untuk memulai. Kalau dari awal sudah gengsi, bagaimana mau membangun suatu hubungan pertemanan? Ditambah usaha untuk membuka diri dan komunikasi dua arah sebagai bentuk timbal balik sehingga bisa sama-sama berproses, sama-sama belajar, dan saling menyesuaikan. Contohnya bersikap baik, mendengarkan, terbuka, dapat dipercaya, meluangkan waktu, dan adanya kendali diri.
Sesuai tema workshop, teman yang suportif itu yang bisa mendukung satu sama lain, tapi bagaimana cara menunjukkannya?
-Menanyakan perasaan orang lain dan menyimak
-
- Membicarakan perbedaan dengan sikap yang sensitif
-Jujur da n terbu ka
-Memperhatikan sekit ar
-Bersabar saa t me nd e n ga r kan
-Merefl eksikan apa yang sudah kita dengar
Dalam menunjukkan dukungan, aku masih terus belajar dan berlatih. Soalnya aku hanya manusia biasa yang masih suka nggak peka terhadap sekitar dan manusia lainnya huft. Kata Dunbar (2018), dalam membangun hubungan sosial kita butuh kemampuan berpikir yang menghasilkan rasa percaya dan mentalisasi untuk berempati. Selain itu, waktu juga penting sebagai investasi dan menciptakan kedekatan emosional. Dari situ kita bisa simpulkan bahwa menentukan prioritas adalah kunci.
Kebutuhan manusia akan dukungan psikologis itu bisa membuat bahagia, sehat jiwa, dan panjang umur. Berdasarkan UU 18 Tahun 2014, Kesehatan Jiwa, Pasal 1, sehat jiwa adalah, "Kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya." Aku yakin kita semua sudah paham bahwa kesehatan fisik dan mental itu sama pentingnya.
-
-
-
-
Dalam menunjukkan dukungan, aku masih terus belajar dan berlatih. Soalnya aku hanya manusia biasa yang masih suka nggak peka terhadap sekitar dan manusia lainnya huft. Kata Dunbar (2018), dalam membangun hubungan sosial kita butuh kemampuan berpikir yang menghasilkan rasa percaya dan mentalisasi untuk berempati. Selain itu, waktu juga penting sebagai investasi dan menciptakan kedekatan emosional. Dari situ kita bisa simpulkan bahwa menentukan prioritas adalah kunci.
Kebutuhan manusia akan dukungan psikologis itu bisa membuat bahagia, sehat jiwa, dan panjang umur. Berdasarkan UU 18 Tahun 2014, Kesehatan Jiwa, Pasal 1, sehat jiwa adalah, "Kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya." Aku yakin kita semua sudah paham bahwa kesehatan fisik dan mental itu sama pentingnya.
Langkah-langkahnya tentu saja mudah: Tanyakan, "Apa kabarmu?" -> Dengarkan -> Berikan dukungan -> Ikuti perkembangnya. Kapan kita perlu menerapkan metode ini? Ketika seseorang berubah, lebih diam, lebih gelisah, lebih pemarah, dan atau lebih senang menyendiri. Terlarut dengan hal-hal besar dan melupakan hal kecil (bukan berarti tidak penting) kerap terjadi, memang manusia itu selalu butuh diingatkan karena lupa itu alamiah. Padahal dari metode simpel seperti ini, kita bisa sedikit banyak berkontribusi untuk membantu orang lain ya?
Namun, sebelum jaga orang lain, kita harus jaga diri kita sendiri terlebih dahulu.
- Tenang, bersahabat, menunjukkan perhatian
-
- Sebutkan secara spesifik apa yang membuat kita peduli
- Jika tidak ingin berbicara, jangan memaksa dan mengkritisi
- Sampaikan bahwa kita tetap peduli dengan apa yang mungkin berubah dan kita peduli untuk membantu
-
- Sampaikan "Hubungi saya jika kamu merasa saya bisa membantu, ya" atau "Apakah ada seseorang yang bisa membantu atau menemani?"
Sebisa mungkin kita dengarkan tanpa menghakimi. Tanggapi apa yang disampaikan secara serius dan jangan menginterupsi, apalagi memaksa untuk cepat-cepat. Jangan juga menghakimi pengalaman atau reaksi mereka, tetapi coba pahami bahwa kondisi yang sedang dialami itu tidak mudah bagi mereka. Jika kita butuh waktu untuk berpikir, duduk sebentar dengan sabar dalam diam agar pikiran tetap jernih.
Kita bisa bantu mereka untuk menjelaskan, "Bagaimana perasaanmu tentang itu?" atau "Berapa lama kamu telah merasakaan hal ini?". Penting juga untuk menunjukkan bahwa kita mendengarkan, selalu, dan tanyakan apakah kita telah memahami dengan benar. Terlepas dari itu, kita sebagai teman harus pastikan dulu dari awal, apakah waktunya pas untuk menanyakan kabar dan apakah waktunya cukup untuk mendengarkan.
Ada contoh percakapan yang seharusnya tidak kita gunakan kembali. Jujur saja, aku pernah (atau bahkan sering) menggunakannya dulu saat mendengarkan cerita teman-temanku, seperti "Saya tahu apa yang kamu alami." atau "Coba berpikir positif dan lihat sisi terangnya." Duh, malu dan sedih kalau memikirkannya, padahal kita tidak pernah benar-bernar tahu apa yang orang lain sedang alami, kan? Daya ketahanan manusia terhadap suatu hal itu berbeda-beda.
Alih-alih menggunakan kalimat-kalimat itu, coba berhenti dan ganti dengan, "Aku bisa membayangkan...", "Kamu tidak sendiri.", atau "Bagaimana saya bisa membantumu?" Adapun pilihan percakapan lain untuk memberikan dukungan yaitu
- "Apakah kamu telah membicarakan ini dengan orang lain?"
- "Apa yang telah kamu lakukan?"
- "Menurutmu, bagaimana caramu menyelesaikan masalah ini?"
- "Bagaimana kita bisa membuat hidup kita lebih mudah?"
- "Saya siap sedia kalau kamu membutuhkan bantuan, ya."
Bila kondisinya sudah mengganggu keseharian, lebih dari dua minggu, dan merasa di luar kapasitas, kita bisa coba tanyakan, "Apakah akan bermanfaat untuk menghubungkan dengan seseorang yang dapat lebih membantu?" atau "Saya akan sangat gembira untuk membantumu menemukan orang yang tepat." Jangan lupa untuk selalu menekankan KITA dalam proses ini sehingga teman kita tidak merasa sendirian.
Setelah itu, sebisa mungkin kita komitmen untuk ikuti terus perkembangan keadaannya, sesederhana "Kapan-kapan bertukar kabar lagi, ya. Kita lihat bersama kondisimu." atau "Hai, apa kabar? Sudah seminggu kita belum ngobrol lagi, ya." Dengan segera menghubungi mereka kembali, kita tanyakan apa yang telah dilakukan dan apa yang membantu. Jika mereka belum melakukan apapun, jangan pernah hakimi ya! Mungkin ada latar belakang baru yang belum sempat diceritakan kepada kita. Penting untuk saling menghubungi dan ada untuk mereka karena ketulusan dan kepedulian dapat membuat semuanya berbeda.
Di akhir sesi, kami diminta untuk menuliskan sebuah surat untuk teman yang paling ingin dibantu. Alasannya, serta kepedulian yang tulus kami tuangkan dalam secarik kertas yang kemudian dimasukkan ke dalam amplop tertutup. Surat itu, kata Kak Gina, sebagai pengingat bahwa kita semua bisa menjadi seorang teman yang suportif.
Kembali ke awal, selalu utamakan niat baik. Dengan langkah yang murni dan jujur dari hati, satu pertanyaan bisa membawa perubahan dalam hidup seseorang. Yuk,
Semoga aku, kamu, kita, bisa selalu percaya dan berharap pada kebaikan, selalu.
Selamat menjalani hidup, ya! :)
Foto: Tim Dokumentasi Primepoint.ID
Jadi malu :( kayanya aku bener2 bukan teman yang baik ��
ReplyDeleteBut, makasih ya pencerahannya, semoga apa yg kamu tulis bisa ku praktekan, dan mudah2an aku bisa jd teman yg lebih baik! Amin
Dear Gaby, nggak apa-apa, setiap hari kan kita latihan dan belajar terus. Menyadari dan memulai itu bagian dari usaha. Semoga kita semua bisa, ya. Aamiin. Semangat!
Delete