Source: World YWCA
Jadi, FGM itu apa?
Anyways, FGM ini merupakan prosedur yang menghilangkan atau melukai sedikit, sebagian, atau penuh bagian luar organ genital perempuan dengan alasan tradisi, budaya, atau alasan non-medis lainnya. Nah, sebagian masyarakat di Indonesia pun meyakini kalau FGM ini penting untuk dilakukan terhadap perempuan, terutama untuk masyarakat yang beragama Islam.
Tipe 1 — Clitoridectomy: Menghilangkan sebagian atau total klitoris atau kulit luar
Tipe 2 — Excision: Menghilangkan sebagian atau total klitoris dan labia minora dengan/ tidak dengan menghilangkan labia majora, besar jaringan yang dihilangkan berbeda-beda di setiap komunitas
Tipe 3 — Infibulation: Menyempitkan lubang vagina dengan segel penutup yang dibentuk dengan memotong dan memposisikan ulang labia minora dan/ atau labia majora dengan/ tanpa pengangkatan klitoris
Tipe 4 — Prosedur berbahaya lainnya untuk tujuan non-medis seperti menusuk, mengikis, menggores, atau membakar
...dan ini dilakukan di seluruh dunia?
Menurut United Nations Population Fund (UNFPA), antara tahun 2015-2030 ada sekitar 68 juta perempuan di 25 negara di dunia yang menjalani atau akan menjalani ritual FGM, terutama negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Jadi coba kamu bayangin aja, berapa banyak perempuan yang terpapar praktik FGM ini.
Terus, kalau di Indonesia gimana?
United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) di tahun 2013 pernah bilang kalau Indonesia berada di jajaran tiga besar dengan angka sunat perempuan tertinggi setelah Gambia (Afrika Barat) dan Mauritania (Afrika). Di Gorontalo dan Bangka Belitung saja praktik FGM bisa lebih dari 80%, lho! Banyak banget, kan, angkanya. Nah, tipe yang biasa dilakukan di Indonesia adalah tipe 1 dan umumnya dieksekusi oleh bidan atau dokter kandungan.
As you know it, mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam
Kok praktik ini seperti berpihak pada laki-laki, ya?
Hmm, dalam pandanganku sih, sudah bukan seperti lagi, tetapi ya memang berpihak pada laki-laki. Bahkan, sebagian komunitas agama berpendapat bahwa perempuan yang tidak disunat bukan sepenuhnya seorang Muslim karena akan tumbuh menjadi perempuan yang centil dan senang bila berada dengan banyak laki-laki. Ada pula perdebatan tentang hukum sunat perempuan, antara wajib atau sunnah, tetapi intinya menekankan pada memuliakan perempuan. Namun, berdasarkan United Nations (UN), FGM ini ditetapkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, lho.
Well, setiap tahun
FGM di Indonesia rata-rata dilakukan pada bayi atau saat anak perempuan belum menstruasi (di bawah 12 tahun). Biasanya sih dilakukan atas keinginan orang tuanya sehingga anak tidak melakukan FGM atas kemauan atau izinnya sendiri.
Kalau sunat laki-laki gimana?
I got you! Berbeda dengan sunat laki-laki, rujukan agama untuk melakukan praktik ini jelas hukumnya, tidak ada perbedaan pendapat antara paham satu dan lainnya, pun memiliki tujuan medis yang menguntungkan yaitu membuang kulit luar yang menyelimuti ujung penis untuk higienis, mengurangi risiko infeksi urin, mengurangi risiko infeksi seksual, serta mengurangi risiko masalah kesehatan organ vital dari kanker atau penyakit lainnya.
Biasanya sunat laki-laki dilakukan mulai dari bayi yang baru lahir sampai anak-anak kurang dari 12 tahun. Namun, merujuk pada HAM, seorang anak laki-laki pun memiliki hak tubuh untuk memilih kapan ia ingin disunat, kecuali ada urgensi atau keadaan yang mendesak terkait kesehatannya sehingga ia harus disunat saat masih bayi atau bahkan baru lahir.
Again, kenapa sih kita perlu membahas FGM, terutama di Indonesia?
Karenaaaa, tak lain tak bukan, FGM sampai saat ini masih dilakukan di Indonesia.
Apa dampak yang dihasilkan bila FGM dilakukan?
FGM memiliki dampak yang signifikan terhadap fisik dan mental seorang perempuan. Dampak jangka pendeknya yaitu rasa sakit, syok/ trauma, gangguan urin, infeksi, demam, atau pendarahan, infeksi, atau bahkan hal-hal lain yang dapat menyebabkan kematian.
Dampak jangka paniangnya yaitu komplikasi saat melahirkan, anemia, keloid, rasa sakit saat berhubungan seksual, disfungsi seksual, masalah organ genital, organ genital yang terlalu sensitif, meningkatkan risiko terkena penyakit/ infeksi seksual seperti HIV. Bukan hanya pada fisik, FGM pun berdampak pada kesehatan mental seorang perempuan yaitu PTSD, gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan fisik tanpa penyebab yang jelas (psikosomatis).
Merujuk pada konsultasiku dengan dr. Leonardi Armando, Sp.KJ, trauma
Nah, apakah menghilangkan praktik FGM di Indonesia berarti menggerus atau menghilangkan nilai-nilai tradisi/ budaya atau agama yang sudah ada?
Melihat dari sudut pandang agama, terutama Islam di Indonesia, yang mayoritas melakukan praktik FGM karena kepercayaan atas HR Abu Daud yaitu
Dari Ummi Athiyyah RA bahwa seorang perempuan mengkhitan para perempuan di Madinah. Nabi SAW mengatakan, “Jangan berlebihan karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan (menguntungkan) bagi perempuan (istri) dan paling disukai suami.
Dalam hadits ini, Nabi SAW menunjukkan kritik dengan pendekatan yang bertahap yaitu mereduksi tradisi tersebut, bukan menganjurkan, sehingga tidak ada dalil yang menyatakan bahwa FGM ini wajib atau sunnah untuk dilakukan. Namun, agama merupakan hal yang sangat personal dan dapat ditafsirkan sesuai dengan cara pandang dan pemahaman masing-masing individu.
Terakhir, mengapa FGM di Indonesia perlu dihilangkan?
Berdasarkan pada penjelasan, fakta, dan data di atas, tidak ada hal besar yang membut FGM ini perlu dilanjutkan dalam segi medis, terlepas dari tradisi dan agama. WHO juga telah melarang FGM sejak tahun 1994 karena dapat membahayakan organ genital perempuan, walaupun di Indonesia belum ada hukum jelas yang melarang praktik FGM.
Dengan demikian, pemerintah seharusnya dapat menetapkan hukum yang jelas terkait praktik FGM di Indonesia, serta melakukan pendekatan tradisional atau religius kepada masyarakat yang masih melakukan praktik tersebut. Kementerian Kesehatan pun masih belum tegas dalam praktik sunat perempuan di Indonesia, sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) cenderung memperbolehkan dalam artian halal untuk melakukan sunat perempuan.
Menurutku, penetapan hukum yang jelas dari pemerintah dapat dilakukan sebagai upaya untuk mengedukasi dan membuka diskusi terkait FGM, apakah memang pantas untuk dilakukan atau sudah seharusnya dihentikan.
-----------------------------------------------------
Aku ingin memperjelas posisiku di sini yaitu kontra terhadap praktik sunat perempuan, apa pun alasannya. Isu ini aku angkat sebelumnya di Instagram Story akun pribadiku, dipelajari ulang saat mengikuti workshop kepenulisan argumentatif bersama Kak Asih, dan kini aku memilih untuk mengunggahnya di blog pribadiku.
Selain itu, tulisan ini merupakan buah hasil diskusiku dengan teman perempuan yang mengalami FGM maupun yang tidak, aktif secara seksual dan mengalami gangguan saat berhubungan seks maupun tidak, mengalami gangguan pada vagina maupun tidak, orang tua dan yang akan menjadi orang tua, serta yang mendukung maupun yang tidak mendukung praktik FGM.
Aku tahu pasti banyak yang berbeda paham denganku, tetapi aku sama sekali tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut, karena yang ingin aku tekankan di sini adalah sunat perempuan sebagai pelanggaran HAM. Hal itulah yang membuatku ingin memutus tradisi sunat perempuan. Namun, setiap orang pasti memiliki pertimbangan masing-masing dan kondisi yang berbeda-beda.
Mengutip dari Kak Asih, seorang dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB), di Instagram Story-nya beberapa waktu lalu,
There's no arguing religion. There's no scientific method to dispute religious thoughts—religion at this moment cannot be rational. How can I then present an argument or even questions?
Untuk mempelajari tentang FGM lebih lanjut, silakan baca jurnal-jurnal berikut:
- Female Genital Mutilation: Health Consequences and Complications—A Short Literature Review
- The Psychological Effects of Female Genital Mutilation
- Effects of Female Genital Mutilation on Physical, Social, and Psychological Health of the Victims
- Effects of Female Genital Mutilation/ Cutting; Types I and II on Sexual Function: Case-controlled Study
- Psychosexual Consequences on Female Genital Mutilation and the Impact of Reconstructive Surgery: A Narrative Review
No comments:
Post a Comment