Thursday, November 14, 2019

Filosofi Bunga

Di dunia yang semrawut dan sungguh fana ini, bunga mengajarkanku banyak hal.

Saat aku datang ke pameran Pram satu tahun lalu, sempat diceritakan bahwa beliau membenci bunga semasa hidupnya. Namun, menjelang ajal, Pram tiba-tiba saja menyukai bunga. Entah mengapa, tetapi selain membunuh waktu dengan membakar sampah setiap sore di halaman rumahnya, Pram memilih untuk mengagumi bunga.

Aku selalu menyukai bunga. Bentuk asli, motif bahan, rasa teh, dan segala hal yang berhubungan dengan bunga, aku suka. Apakah karena ada kata Sekar yang disematkan dalam namaku? Aku tak begitu yakin walau nama merupakan doa. Menurutku, bunga bukan hanya tentang keindahan, tetapi lebih dari itu, bunga berfilosofi, tentang kehidupan, tentang menjadi manusia.

Manusia itu seperti bunga;


tumbuh, mekar, diterbangkan angin, menemukan tempat baru,
istirahat, lalu tumbuh lagi.


Begitu seterusnya.

Kita, manusia, tidak pernah berada di situasi yang sama. Perubahan adalah satu-satunya  yang pasti, yang lain adalah semu. Kita bermula dari garis awal yang berbeda, tentu saja, tetapi konteksnya sama. Manusia tumbuh, menemukan hal baru, mengeksplorasi, ingin tahu ini-itu, melebarkan sayap, dan memberi arti. Namun, badai merupakan kemungkinan yang besar untuk terjadi, menerjang kita kian kemari, barangkali hilang arah, dan berujung bingung.

Sampai akhirnya ada tempat baru yang menampung kegelisahan kita. Pengingat yang Ia datangkan, sengaja untuk kita, tentang tujuan, harapan, dan welas asih. Bahwa pelan-pelan itu tidak apa-apa. Kita tidak sedang diburu-buru, selalu masih ada waktu, meski rasanya kesempatan kedua mustahil, percayalah itu hanya ilusi. Proses memang sering terasa membosankan atau bahkan membuat kita ingin menyerah saja. Kadang kuncinya sederhana; menikmati setiap langkah yang kita pilih, baik mudah maupun susah, dan berserah.

Tak ada hal yang lebih damai daripada percaya pada diri sendiri. Mengakui kelemahan yang kita miliki dan memanfaatkan kelebihan yang dianugerahi. Walau begitu, kita tidak pernah sendirian. Tengok ke kanan dan kiri, ada pula yang sedang berjuang untuk tumbuh, berusaha untuk mekar, dalam pencarian tempat berpijak, bernapas sejenak, kemudian mengulang siklus yang sama, tetapi dengan cara yang berbeda.

Tidakkah kamu sadari bahwa kamu sedang berbunga saat ini? Atau bahkan membungai, hidupmu sendiri, yang lain, dan alam raya. Aku kali ini memilih untuk percaya bahwa kita, manusia,  merupakan satu entitas yang sama dengan semesta. Ia tak pernah mengkhianati kita, tetapi memberi, memberi, dan selalu memberi, dengan caranya sendiri, yang tak pernah kita sangka, murni dan suci.

Selamat berbunga, kawan! Tumbuh dan mekar, bersama atau mandiri. Siapa tahu, suatu hari nanti, kita melintas di kosmos yang sama, dan merupa taksu yang sejati.

Wednesday, November 13, 2019

Sarapan Bersama Ibu: Es Buntin dan Warung Tuman (Dari Pasar Lama ke BSD)

Salam!

Sudah lama absen, ya? Sebenarnya sih ada banyak sekali sesi sarapan bersama Ibu, tetapi saya yang malas untuk mendokumentasikan dan menuliskannya di sini. Entah kenapa, beberapa waktu terakhir, saya malas sekali melakukan hal-hal yang biasanya saya suka. Namun, itu juga karena saya lebih menikmati momen tanpa terdistraksi untuk menghafal detail menu yang saya makan atau mengambil foto untuk dibagikan. Kadang, mengingat momen hangat yang dilalui bersama itu lebih asyik, lho.

Nah, kali ini muncul kembali minat itu, syukurlah, dan tentu akan saya tuangkan sebaik-baiknya. Mungkin post kali ini tidak terlalu memuat banyak tulisan. Saya akan cantumkan beberapa foto yang saya abadikan, sedikit deskripsi, dan sisanya silakan kamu kira-kira sendiri, bagaimana perasaan saya saat sedang berjalan bersama Ibu kemarin (12 November 2019).



Berawal dari Pasar Lama, kami menyusuri gang demi gang, bertukar senyum dan sapa dengan warga sekitar, juga menikmati rumah-rumah tua yang memikat. Tadinya Ibu minta ditemani untuk melakukan pergantian paspor, tetapi karena ada beberapa hal yang terjadi, Ibu harus menundanya ke minggu depan. Jadilah Ibu memilih untuk makan bubur ayam, tepat di depan gang ROEMBOER - Tangga Ronggeng, juga sebuah gemblong yang tidak begitu enak. Saya memilih combro saja.





Selama berjalan di gang-gang yang saya tidak hafal namanya, tanaman cantik mudah sekali kami temui, melati tumpuk, buah delima, kemuning, dollar, dan masih banyak lagi. Pula dengan harum gula merah yang semerbak, produk rumahan di sana. Sesampainya di Boen Tek Bio, ada Es Buntin yang tersohor itu. Maka kami pun mencobanya, es leci untuk saya dan es campur untuk Ibu. Dua-duanya dengan kental manis dan sirup pisang ambon, segar sekali. Buntin merupakan nama dari si pemilik, Ko Buntin. Walau tempatnya tidak terlalu bersih, tetapi boleh dicoba.




Kalau kata Ibu, berjalan di sekitar Pasar Lama seperti memasuki lorong waktu yang berbeda. "Ibu rasanya seperti ada di dunia lain," begitu katanya. Saya setuju dan malah mengidamkan untuk tinggal di tempat seperti ini, kalau memang harus menetap di kota. Suasananya sederhana, nyaman, dan hangat. Saya menemukan rumah mungil di sudut gang yang penuh dengan tanaman dan langsung jatuh hati. Saya bisa bayangkan saya tinggal di sana, mengganti warna pagarnya menjadi putih, dan duduk di teras depan untuk menyapa anak-anak yang pulang sekolah.



Kami menjelajahi area Pasar Lama dari pukul sembilan sampai setengah dua belas. Memang hanya dua setengah jam saja, tetapi kami berdua sama-sama belajar, untuk lebih pelan-pelan dalam hidup. Ada banyak hal kecil yang bisa dinikmati saat kita dapat mengurangi kecepatan langkah kita ini. Tidak pernah ada yang memburu, kita sedang tidak buru-buru. Betul, Ia mengingatkan kita dengan berbagai cara, yang tak diduga.

Setelah puas berjalan santai di Pasar Lama, kami mengarah ke daerah BSD, enggak apa ya sekalian sarapan + makan siang saya tuangkan ceritanya di sini. Kamu ke BSD untuk makan siang di Warung Tuman, yang keberadaannya saya ketahui dari akun Instagram Tangselian. Iya, akun yang dikelola oleh penulis favorit saya, Dewi Lestari.

Intinya, mengarahlah ke Granada Square sampai menemukan Indomaret yang di depannya ada jembatan berwarna kuning. Kalau membawa mobil dan enggak terlalu jago dengan tikungan tajam dan jalan kecil, lebih baik parkir di jalan raya dan jalan menuju ke dalamnya. Namun, kalau kamu memang lulus tes SIM dengan nilai A, mainkan. Untuk pengguna motor, kamu aman, langsung saja tancap gas sampai ke warungnya.




Jalan menuju ke Warung Tuman akan dihiasi dengan bambu, tanaman liar, ada pemancingan pun. Oh, juga lahan yang dibakar, sepertinya akan dibuat bangunan di situ. Warung Tuman menghidangkan makanan sederhana khas rumahan. Sebenarnya aku bingung sih, warung ini spesifikasi masakan daerah mana, karena di menu ada mangut pari asap, ada pula nila calabalatuik, tetapi juga dendeng batokok. Perpaduan Jawa, Sunda, dan Padang kali, ya.



Saat tiba di Warung Tuman, langsung datang saja ke dapurnya untuk memesan. Lalu, pilihlah tempat dudukmu. Banyak yang lesehan, tetapi ada juga kok yang meja biasa, semuanya terbuat dari bambu. Suasananya seperti di desa, biasa-biasa saja, tetapi itu yang malah bikin jadi luar biasa. Siapa sih yang enggak bosan sama kota? Pasti bosan, kan? Saat itu Warung Tuman ramai pengunjung, mulai dari keluarga, geng anak muda, ibu-ibu arisan, sampai kumpulan PNS. 





Kami memesan mangut pari asap, nila calabalatuik, gulai bareh, tumis bunga pepaya, dan telur dadar gaek. Nasi putih untuk Ibu dan nasi merah untuk saya. Menurut kami berdua, juaranya adalah telur dadar gaek + kuah kental gulai bareh. Kentalnya itu berasal dari beras, bukan santan, benar-benar nikmat, sedap. Apalagi makan ditemani segelas es teh tawar untuk melepas dahaga. Piring dan gelasnya pun dari enamel atau blirik seperti tempo dulu.




Kalau sudah kenyang, bisa langsung mencari Pak Eko untuk membayar, cash only lho, ya. Kadang Pak Eko ini suka ada di dapur, membersihkan meja, atau menyapu lantai. Namun, tenang, tinggal cari saja Bapak yang memegang dompet motif di tangannya, ialah sang kasir Warung Tuman. Oh ya, di atasnya Warung Tuman juga ada Kampung Mode, sebuah coworking space untuk kamu pegiat fashion. Selain itu, akan segera dibuat coffee shop pula. Lengkap, deh!



Setelah selesai makan siang di Warung Tuman, aku menemani Ibu ke pasar untuk membeli keperluan catering besok. Di sana, aku menemukan seorang Bapak yang tertidur di sudut parkiran, sebelah tempat listrik. Apa yang kamu pikirkan kalau berhadapan dengan orang-orang yang kurang beruntung daripada kita? Kalau saya, mulai deh, membuat cerita tentang kiranya siapa dia, seperti apa kisah hidupnya, dan tentu menjadi pengingat untuk bersyukur atas apa yang kita punya.


Ya sudah, segini dulu ya ceritanya. Kapan-kapan, kalau saya ada minat menulis lagi, kita ketemu (di blog), ya! Semoga hari-harimu penuh arti dan bisa menebar kasih pada diri sendiri, juga makhluk lain.

Tabik!

Tuesday, November 12, 2019

Strolling Around Blok M

Heya heya!



So, last Saturday, I went for a date with my gurls, Farhah and Icha, to Jakarta. Basically, Icha wanted to try the double-decker tourism bus and Farhah wanted to try MRT. We went to the Museum Nasional bus stop and got a ride there to Juanda, then Bundaran Senayan. Afterward, we took MRT and got off at Blok M station.



Trying to be a hipster, we paid a visit to M Bloc Space. Before, it was a post-colonial style, two-stories PERURI's housing, left neglected for quite a long time. It was also a warehouse and a printing factory. Now, it becomes the center of pop-cultural activity in Jakarta. Yeah, the purpose is to bring back the golden era of Blok M as a young community ecosystem.



The execution is, of course, AMAZING! PT Ruang Riang Milenial, led by Handoko Hendroyono, along with his six best companies; Lance Mengong, Glenn Fredly, Wendi Putrantro, Jacob Gatot Sura, and Mario Sugianto, are the men behind M Bloc Space. Mas Handoko was also the man behind Kebun Ide and Filosofi Kopi. He's definitely an EXPERT in creative branding, have you checked his books? His track record is no doubt. Oh, I can't imagine what's on his mind, truly mind-blowing!




Well, we ate at Mbok Ndoro, one of the restaurants there. A Javanese restaurant, a very humble place, and tasted like home. I ordered nasi merah, sambel tumpang, krecek, oseng mercon, telur dadar, and es gula asem for the drink. Oh, also es grim jowo a.k.a klepon flavored ice cream, I loved it! Foods are heavenly delicious, pricey but worth every penny, it really suits my Javanese palate, a bit spicy with a touch of sweetness in every dish. Overall, satisfying meals.



There are so many interesting places to explore in M Bloc Space, from cafes, local brand shop, gelato, to gigs place. In the back of it, there are some murals for you, photo-hunter, and a little space of garden too. I found eggplant, chili, and hydroponic greens. In the middle of our stroll, we met Snowy! A very lovely dog, fluffy and soft, he likes to smile and very friendly even to strangers. I have a dream when I financially stable, I really want to have a dog, like Snowy! Oh, I can still feel his fur, I can even cuddle with him every second.



Then we walked to the Blok M Square area to get some caffeine intake at Filosofi Kopi, chit-chatting about everything 'cuz we haven't met for months and there were so many things to catch up with. I managed to get myself a namareka pudding from La Mouette. If you haven't tried one, go try it! Heavenly delicious, best purin (Japanese caramel custard pudding) in Jakarta ever!



Almost sunset, golden hour time! We hunted the best spot at Taman Martha Tiahahu and took hundreds of photos lol especially Icha 'cuz when it comes to posing, she's a natural. And it wasn't over yet, at the MRT Station, the photoshoot still continued.



My legs were actually hurt like hell and I couldn't even feel it anymore, but the show must go on. We went to Senayan City to get dinner and rest our feet a little. From 8 am to 8 pm, we walked 14 km and just burned about 400 calories, just one and a half of a piece of martabak HAHA but okay, at least we're having so much fun.



I hope we can still do quality time together 'cuz it will always be a memorable moment to spend time with them. My MVP from college until now. Thank you Icha and Farhah, love you everyday!

Monday, November 11, 2019

Never a Perfect Grey

Hopefully, I'm fully sober when I'm writing this. I just finished watching Someone Great on Netflix and swallowed my antidepressant(s), but okay.

It's 11 pm right now and I'm feeling like I need to pour it right away. These two years sucks. There might be something great that happened, but most of them put me in so much pain that I think I never ever felt before. I lost focus, I don't know how to concentrate, I messed up with my jobs, my social life, I lost myself. I probably disappoint a lot of people, my clients, my latest colleagues, my besties, and of course, my mom. 

You know, I'm trying to be normal and finding what's the root, is it really my childhood trauma or is it just a phase that I need to go through. I'm so very confused, totally clueless. It feels like I care and think too much about everything that I deserved to be called the overthinking-everything goddess, but at the same time, I don't give a damn about everything, I don't care at all, about you, about me, I don't give a shit. I don't even care if I look stupid in front of Descartes.

Do you know how bad it is to feel that kind of torture? Frikkin' hard and everyday feels like a battle to me. It's not me, not the usual me. Well, I know I'll always be the most awkward creature at the party, but this is so wrong. I sought professional help 'cuz self-healing seemed tough for me. I've tried TAT (Tapas Acupressure Technique), but it didn't work out well.

So, I went to a psychologist this mid-year and also a psychiatrist recently. I took medications. I'm actually kinda ashamed of myself by doing this, you know, I was this girl who told everyone, "We are the best healer of our own." I never expect that I gotta be this vulnerable by being depressed and anxious all the time, like what I am right now. I know it's impossible for us, human, to be in the top stage of life every time, but I didn't see it coming, baby.

Lemme tell you, I was always a planner, I plan everything, from A to Z, if one's not working, I got the back-up plan, no worries. And now??? I don't know what my purpose is. I can't even write. I do journaling, but not that routine, still I can't let my mind to be as creative as I used to be. I LOVE TO WRITE AND I LOVE TO READ. Now, not anymore, I still get a passion for it, but I don't know how doing it great. I'm so depressed.

I almost burned out everyday and what I feel is just sadness. Pure and clear sadness, I'm just so sad, I'm sad all the time for the past two years. Yeah, that bad. And crying issa everyday's mood. Mindset is the key and it's not that as easy as one, two, three to get back on track, you know. Though, I give myself time, until this year-end. I need to get up, I failed many times, but I gotta stand tall. I don't have much time, I know, but I'm really willing to do it.

In this situation, it's very difficult to think about the bright side, I can't even feel the sun coming into my life. I feel isolated 'cuz I know I isolated myself, I just don't know anymore how to socialize well. There are people who care about me, they ask whether I'm okay or not, but I always have this feeling that they don't really mean it, you know? Like they're just trying to be polite 'cuz they got their own problems and they do routines. I can't hang my expectations on a living creature, yeah? Wow, now I'm feeling rude, but I'm so alone and lonely.

I still wanna pursue my dream to get my master's degree abroad, financially stable to live on my own, publishing my own book, and oh, eating gelato a pint a day without getting diabetes if that's even possible. When I went to Ubud last month, I felt something spark within me like I felt a little more upbeat about life, maybe I wanna stay and get a job there. I think I need to be in a totally new environment and being a brand new. I still get my savings left, it's not much, but I think I can survive with it.

By everything that happened, I guess I need to live independently. This whole time, 23 years living on this earth, I attached to my mom, never get a chance to be away from her. I don't want to be dependent on her, I know we as humans still need somebody else to live with, but I can depend on her forever. Maybe next year is my year, a leap of faith, to live life as it should be.

"Life,
it's never black or white, it will always be grey, either a light or dark grey,
but never a perfect grey."

To whoever you are who happens to read this, may we all live a meaningful life, we really don't have to inspire others, life's a joke, right? See you in the eternal universe, when we consolidate with the earth, and guessing our next surprise.