Malam itu, di suatu distrik bisnis ibu kota, melebur dengan semesta.
:Permulaan
Kaki yang belang akibat suka pakai sepatu terbuka itu dilangkahkan oleh seorang dara di pusat perbelanjaan kawasan Sudirman, satu per satu menuruni anak tangga curam menuju halte bus. Bukan untuk bus, melainkan ojek daring.
Dalam balutan jaket biru gelap bermotif pohon, kelinci, dan bunga: hal-hal yang disukainya, perempuan berkerudung merah muda itu diketahui sedang sendiri, tetapi tidak kesepian. Ponselnya menyala, menampakkan surel yang ia terima tepat kemarin, berisikan tempat rahasia diadakannya sebuah pertunjukan musik.
Ojeknya datang.
:Perjalanan
Sebetulnya hanya terpisahkan jarak 4 km, tetapi terasa lebih jauh karena rekayasa lalu lintas yang berlaku. Jalanan sepi kendaraan bermotor, padahal itu malam Minggu, hanya ramai daun-daun jatuh dan beberapa pikiran yang berjalan di trotoar.
Ia menyusuri kawasan Senayan, lalu Senopati, mesra berdua dengan seorang bapak baik hati yang tahu jalan, sampai akhirnya tiba di distrik bisnis ibu kota yang berputar, memusingkan.
:Pengalaman
Kembali sang dara bersua dengan halte bus di depan sebuah gedung yang memancarkan sejuta warna ke segala penjuru, berseri dan memikat pandang siapa saja yang mendapat anugerah penglihatan karena kilaunya. Kaki belang itu pun menjejaki jalan dengan kanan-kiri pencakar langit sebagai pemandangan, menyeberangi garis hitam putih.
Ia tiba di tujuannya, pertunjukan musik sebagai kencan dengan dirinya sendiri yang sudah lama terabaikan. Perempuan itu memang sering lupa untuk jatuh cinta dengan siapa yang berada di dalam jiwanya, membahagiakan orang lain menjadi lebih nikmat 'tuk dilakukan. Keinginan untuk memeluk setiap relung yang ia sebut sebagai aku menguat erat.
Yura Yunita, Dhira Bongs, Bilal Indrajaya, dan Bedjana. Keempatnya membuat ia terpukau, musik yang disajikan mereka semua membuat telinga siapa pun jatuh cinta. Belum lagi suasana hangat dengan latar gemerlap ibu kota dari ketinggian lantai 25, begitu memanjakan mata, hati, dan pikiran manusia yang berada di sana.
Setelah acara selesai, ia menyapa seorang perempuan berkerudung krem, mengenakan baju hangat berwarna jingga dan celana jin, serta sepatu Vans Checkerboard yang tidak tampak baru.
"Keren banget nggak, sih?"
Itu kata-kata yang terlontar pertama kali dari mulut sang dara. Tadinya ia hampir mengarahkan kalimat itu kepada laki-laki di samping kirinya, tetapi ia terlalu malu untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Tak lama, perempuan tadilah yang datang dan duduk di sebelah kanan, namanya Kenni. Kenni menyambut ramah dan terjadilah percakapan menyenangkan antara keduanya.
Sama-sama sedang deactivate media sosial, sering bepergian sendiri, dan menikmati musik malam itu. Keduanya tertawa karena menemukan begitu banyak kesamaan, bercerita lebih banyak lagi tentang diri masing-masing, dan menatap setiap orang yang masih tersisa di dalam ruangan. Sampai akhirnya memutuskan untuk turun karena sudah larut dan waktu menunjukkan untuk pulang.
Ia dan Kenni tidak bertukar nomor telepon atau surel. Sesederhana karena keduanya yakin, bila memang harus dipertemukan kembali, Tuhan yang akan beri jalan untuk bertemu. Berjabat dan melambaikan tangan, Kenni berjalan menuju parkiran dan sang dara berjalan menuju halte tempat ia pertama kali datang.
:Pencerahan
Semilir angin malam tidak terasa menakutkan, tetapi bersahabat dan mengajaknya berpelukan. Ia genggam erat setiap cinta yang ia rasakan. Malam itu, ia merasa penuh dan menyatu tulus dengan bumi. Berjalan sendirian pukul setengah dua belas malam tidak terasa menyeramkan, tetapi melegakan. Ia menikmati dirinya sendiri seutuhnya. Meneteskan beberapa bulir air dari matanya, lalu tersenyum dan tertawa bersama lampu-lampu jalanan.
Doa-doa yang selalu ia panjatkan, entah berapa ribu waktu dan purnama sudah dihabiskan, terbayar malam itu. Ada perasaan plonggg dan membuatnya ingin berkata, "Aaahhhhh". Pelan-pelan, tetapi pasti, ternyata kita adalah apa yang kita percayai. Pemilik semesta dan segala isinya selalu mempunyai cara yang tidak disangka-sangka dan memang sebaik-baiknya tempat berharap.
Sambil menunggu taksi yang agak lama datang, ia menyapa semua makhluk yang ditemuinya, terlihat atau tidak, ia merasa menjadi teman untuk siapa saja. Terlebih, ia akhirnya bisa menjadi teman untuk dirinya sendiri. Segala beban yang ia pikul masih terasa di dada, tetapi malam itu, rasanya ia bisa menaklukkan apa saja. Teringat perkataan seseorang yang pernah ditemuinya di Instagram,
"Kehilangan adalah ilusi karena kita tidak pernah benar-benar memiliki, kita tidak punya apa-apa selain diri kita sendiri."
Siapa yang ia sebut sebagai aku adalah tanggung jawabnya sendiri. Damai didefinisikan dengan memaafkan diri sendiri sepenuhnya. Mengenali, merasakan, mengakui, dan mengizinkan apapun yang ia rasakan, lakukan. Ia sadar, diri sendiri adalah penolong dan penyembuh paling manjur, terutama dengan bantuan dahsyat dari Sang Mahasegalanya.
:Kepulangan
Seorang bapak pengemudi taksi terlihat tua, tetapi tenaganya masih bisa membuat ia menjadi seorang pembalap. Entah, si dara muda merasa ia siap menjemput keabadian saat berada di kursi belakang mobil. Namun, memang bukan saatnya. Mungkin nanti, masih lama atau sebentar lagi. Ia hanya tahu untuk mendengar kisah sang bapak yang harus merelakan waktu dengan keluarganya di Sukabumi terbuang demi pilu pekerjaan di Jakarta.
Dan...
Perihal pulang adalah Ibu. Tujuan dari destinasinya saat ini adalah Ibu. Alasan dari pekerjaan yang tak pernah ia sukai adalah Ibu. Semua hal yang ia lakukan, mencoba memaafkan laki-laki yang sampai kini belum bisa ia jadikan panutan, masakan yang ia sentuh dengan sayang, adalah Ibu. Dulu, kini, nanti, selamanya adalah Ibu.
Ibu telah menjadi caregiver yang paling setia dan selalu mau belajar, terhadap kebimbangan, kebahagiaan, dan segala yang terjadi selama satu tahun penuh perjuangan. Ia bersyukur atas setiap tetes keringat dan air mata yang jatuh setiap malam, cekik penuh ketiba-tibaan dan pukulan dinding selemah pengecut, panas setrika membakar permukaan kulit, setiap sakit dan pahit. Ibu yang membuatnya jatuh cinta lagi pada dirinya sendiri.
Setelah acara selesai, ia menyapa seorang perempuan berkerudung krem, mengenakan baju hangat berwarna jingga dan celana jin, serta sepatu Vans Checkerboard yang tidak tampak baru.
Itu kata-kata yang terlontar pertama kali dari mulut sang dara. Tadinya ia hampir mengarahkan kalimat itu kepada laki-laki di samping kirinya, tetapi ia terlalu malu untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Tak lama, perempuan tadilah yang datang dan duduk di sebelah kanan, namanya Kenni. Kenni menyambut ramah dan terjadilah percakapan menyenangkan antara keduanya.
Sama-sama sedang deactivate media sosial, sering bepergian sendiri, dan menikmati musik malam itu. Keduanya tertawa karena menemukan begitu banyak kesamaan, bercerita lebih banyak lagi tentang diri masing-masing, dan menatap setiap orang yang masih tersisa di dalam ruangan. Sampai akhirnya memutuskan untuk turun karena sudah larut dan waktu menunjukkan untuk pulang.
:Pencerahan
Semilir angin malam tidak terasa menakutkan, tetapi bersahabat dan mengajaknya berpelukan. Ia genggam erat setiap cinta yang ia rasakan. Malam itu, ia merasa penuh dan menyatu tulus dengan bumi. Berjalan sendirian pukul setengah dua belas malam tidak terasa menyeramkan, tetapi melegakan. Ia menikmati dirinya sendiri seutuhnya. Meneteskan beberapa bulir air dari matanya, lalu tersenyum dan tertawa bersama lampu-lampu jalanan.
Doa-doa yang selalu ia panjatkan, entah berapa ribu waktu dan purnama sudah dihabiskan, terbayar malam itu. Ada perasaan plonggg dan membuatnya ingin berkata, "Aaahhhhh". Pelan-pelan, tetapi pasti, ternyata kita adalah apa yang kita percayai. Pemilik semesta dan segala isinya selalu mempunyai cara yang tidak disangka-sangka dan memang sebaik-baiknya tempat berharap.
Sambil menunggu taksi yang agak lama datang, ia menyapa semua makhluk yang ditemuinya, terlihat atau tidak, ia merasa menjadi teman untuk siapa saja. Terlebih, ia akhirnya bisa menjadi teman untuk dirinya sendiri. Segala beban yang ia pikul masih terasa di dada, tetapi malam itu, rasanya ia bisa menaklukkan apa saja. Teringat perkataan seseorang yang pernah ditemuinya di Instagram,
"Kehilangan adalah ilusi karena kita tidak pernah benar-benar memiliki, kita tidak punya apa-apa selain diri kita sendiri."
Siapa yang ia sebut sebagai aku adalah tanggung jawabnya sendiri. Damai didefinisikan dengan memaafkan diri sendiri sepenuhnya. Mengenali, merasakan, mengakui, dan mengizinkan apapun yang ia rasakan, lakukan. Ia sadar, diri sendiri adalah penolong dan penyembuh paling manjur, terutama dengan bantuan dahsyat dari Sang Mahasegalanya.
:Kepulangan
Seorang bapak pengemudi taksi terlihat tua, tetapi tenaganya masih bisa membuat ia menjadi seorang pembalap. Entah, si dara muda merasa ia siap menjemput keabadian saat berada di kursi belakang mobil. Namun, memang bukan saatnya. Mungkin nanti, masih lama atau sebentar lagi. Ia hanya tahu untuk mendengar kisah sang bapak yang harus merelakan waktu dengan keluarganya di Sukabumi terbuang demi pilu pekerjaan di Jakarta.
Dan...
Perihal pulang adalah Ibu. Tujuan dari destinasinya saat ini adalah Ibu. Alasan dari pekerjaan yang tak pernah ia sukai adalah Ibu. Semua hal yang ia lakukan, mencoba memaafkan laki-laki yang sampai kini belum bisa ia jadikan panutan, masakan yang ia sentuh dengan sayang, adalah Ibu. Dulu, kini, nanti, selamanya adalah Ibu.
Ibu telah menjadi caregiver yang paling setia dan selalu mau belajar, terhadap kebimbangan, kebahagiaan, dan segala yang terjadi selama satu tahun penuh perjuangan. Ia bersyukur atas setiap tetes keringat dan air mata yang jatuh setiap malam, cekik penuh ketiba-tibaan dan pukulan dinding selemah pengecut, panas setrika membakar permukaan kulit, setiap sakit dan pahit. Ibu yang membuatnya jatuh cinta lagi pada dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment