Seseorang duduk di seberang suatu gedung yang kata orang pencakar langit. Di rumahnya, dengan sebuah kursi kayu tua, hampir lapuk. Kakinya di-ucang-ucang angge-kan, kalau kata orang Jawa. Matanya berbinar. Ia bercakap dengan langit yang tampak begitu biru pada hari itu. Rambut hitamnya tergerai indah setelah pagi tadi keramas dengan shampoo yang ada di billboard sebelah si gedung pencakar langit.
Adalah perempuan setengah abad yang berbalut daster batik khas Surakarta, tetapi ia di Jakarta. Kantong matanya memang sudah satu sentimeter, tetapi entah dari mana, ada yang berpendar dari dalam dirinya. Lesung pipinya sesekali terlihat, di mana letak hal yang harus diberi senyum, belum jelas.
Asap kendaraan bermotor yang lewat sedari tadi menghiasi udara . Suara klakson, riuh tetangga sebelah yang berkelahi, dan suara orang-orang yang mengeluh karena kemacetan Ibukota, atau kegilaannya.
Perempuan tadi tenang, padahal rumahnya sudah reyot. Cat di temboknya mengelupas, sama halnya dengan kulit di tumit kakinya. Kalau dibandingkan dengan gedung pencakar langit di depan sana, rumahnya bukanlah apa-apa. Tidak ada billboard di samping rumahnya, hanya spanduk pencalonan ketua RT.
Diamnya bagaikan penyelam yang selamat, karena teguh tanpa intervensi dari apa yang sedang hangat. Telinganya terbuka lebar, jari-jari yang mulai keriput sesekali bergerak. Tidak ada keinginan yang muluk-muluk, kecuali selalu dicukupkan dengan rasa syukur. Cukup dengan rasa itu, ia menggenggam kemerdekaannya sendiri.
Tulisan ini bersemayam di telepon genggam saya sejak, ah, sudah lama.
Apakah rasa syukur telah mencukupkanmu?
Apakah rasa syukur telah mencukupkanmu?
No comments:
Post a Comment